Mohon tunggu...
Shanti Agustiani
Shanti Agustiani Mohon Tunggu... Guru - Smart and Simple

Penulis, Guru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Santri Al Mashar

7 Februari 2021   07:00 Diperbarui: 7 Februari 2021   07:57 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Apakah santri mengenal rasa cinta? Rindu, dendam, marah dan asmara?

Kurasa memang demikian ketika Hamdani menemui gadis berkerudung putih yang paling putih itu. Ketika ujung hijabnya berkibar di udara pas sekelebat bola yang tak sengaja Hamdani tendang dan terlempar hampir menyentuh bahunya. Aih untung saja tak kena, jika kena Hamdani bukannya  tersandung cinta melainkan dendam yang membara,

            “Maaf … maaf Dik. Aku tak sengaja,” demi sopan-santun Hamdani berucap.

            “Sudah … tak apa. Lagian ndak kena ini kok.” sahut gadis itu lirih, dengan senyum merekah dan semburat merah di pipinya yang berlesung.

Lalu gadis itu berlalu tak menoleh lagi, sedangkan Hamdani masih terpaku di ujung koridor dekat lapangan bola. Tubuhnya seperti membeku, tak berkedip sampai bayangan gadis setinggi seratus enam puluh lima itu menghilang ke gerbang santriwati, “Al Mashar”.

***

Tiba lonceng berbunyi tiga kali, pertanda masuk kelas untuk kembali khidmat dengan kitab-kitab suci. Hamdani masih tak mengerti apa yang barusan terjadi. Rasa debar halus, rasa ingin menyapa tapi tak tahu namanya, rasa rindu yang menyelinap meski baru saja mereka khilaf mata.

Lantunan ayat suci dibacakan oleh Bilal, menyejukkan dan sedikit menenangkan Hamdani dalam gulananya. Tiba-tiba Ustaz Ridwan menepuk pundak Hamdani dan menyuruhnya mengaji dengan suara. Meski tak semerdu Bilal tapi Ustaz Ridwan memujinya. Kemudian berkatalah beliau di penghujung ceramah.

            “Anak-anakku, Santri-santri yang dimuliakan Allah. Seandainya kalian sedang jatuh cinta, itu sangatlah wajar, pertanda kalian sebagai lelaki normal. Tulis saja nama gadis itu di atas sehelai kertas putih, lalu masukkan dalam amplop dan letakkan di bawah bantal kalian, atau tempat meletakkan benda-benda rahasia. Kau akan mengingatnya dalam setiap doa. Jika Allah berkenan, akan dijadikanlah ia belahan jiwamu di dunia dan akhirat kelak. “

Ustaz Ridwan seperti tahu saja perasaan Hamdani saat ini, mungkin karena … tumben sekali Si Hamdani harus berulang kali ditepuk pundaknya untuk mengikuti kajian kitab. Biasanya remaja lelaki berusia delapan belas tahun itu fokus dan cepat tanggap.

Kali ini Hamdani cepat merespon saran Ustaz Ridwan. Namun lepas sholat Isya, ketika ia mau menuliskan nama si gadis, Hamdani barulah sadar bahwa ia belum lagi mengetahui nama santriwati itu.  Si putih … hmmmm putih tinggi dan ramping, bak bunga bakung yang ditanam emak Hamdani di pekarangan kampung halaman mereka. Perihal mengenang kampung halaman itu sering membuat Hamdani berlinang air mata rindu. Ya … kini rindu yang berbeda ia rasakan pada si putih.

            “Piket, Dan …?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun