Mohon tunggu...
shantana wira
shantana wira Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Komodifikasi Hewan dalam Sirkus Illegal

3 Desember 2017   18:42 Diperbarui: 4 Desember 2017   14:30 1409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Indonesia merupakan salah satu negara yang memperbolehkan praktik sirkus ilegal. Hal ini  menjadi rapor merah bagi Indonesia dalam perlindungan satwa. Praktik sirkus ilegal ini bertolak belakang dengan regulasi yang telah dibuat oleh pemerintah untuk melindungi satwa. Hal ini sudah diatur dalam UU nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Alam Hayati dan Ekosistemnya yang menyatakan bahwa dilarang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindingi dalam keadaan hidup atau dalam keadaan mati. Pengecualian untuk ilmu penelitian, ilmu pengetahuan, dan penyelamatan.

Praktik sirkus ilegal yang hingga saat ini sering ditemui adalah sirkus lumba-lumba keliling. Lumba-lumba menjadi salah satu hewan mamalia yang banyak menarik perhatian orang dengan kecerdasannya, tetapi saat ini lumba-lumba merupakan contoh hewan yang sedang gencar dibicarakan media karena telah eksploitasi. 

Satwa cerdas ini terancam mengalami kepunahan karena banyaknya pemburuan secara ilegal demi kepentingan manusia sebagai lahan bisnis dengan menempatkan lumba-lumba di kolam yang bukan habitat aslinya. Kecerdasannya yang tinggi tersebut, mendapatkan pula perlakuan yang tidak baik, dari proses pelatihan, pengangkutan, maupun ketika melakukan atraksi. Hal ini bertujuan untuk kelancaran pertunjukkan, dengan tidak memberi makan dan lumba-lumba dipaksa untuk mengikuti perintah dari pelatih.

Selain itu, akibat dari eksploitasi itu sendiri dapat membuat hewan menjadi stres. Alasan yang sering digunakan oleh pelaku adalah untuk mengkonservasi sehingga pihak yang seharusnya bertanggungjawab dalam hal ini dapat memberikan izin dengan mudah. Dalam kehidupannya di laut bebas, lumba-lumba juga merasakan tidak nyaman akibat aktivitas manusia berupa transportasi laut yang dapat menggangu komunikasi mamalia laut. Sinyal yang terdapat pada hewan mamalia merupakan salah satu proses mereka untuk berkomunikasi. Gangguan aktivitas manusia juga terlihat dari siklus kehidupan lumba-lumba dimana mereka memulai mencari makan pada malam hari dan siang hari digunakan untuk beristirahat di tepi pantai.

Maraknya eksploitasi terhadap lumba-lumba menjadi masalah besar atas perlindungan yang diterapkan oleh pemerintah. Eksploitasi masih banyak dilakukan demi kepentingan beberapa oknum, tetapi tidak memikirkan bagaimana ekosistem dari hewan mamalia ini. Dalam kasus ini, munculah komunitas pecinta hewan dan pemerhati lingkungan yang mengkritisi masalah ini. Komunitas-komunitas ini muncul di publik dengan menyuarakan pendapat mereka seperti melakukan aksi demo, kampanye, dan petisi untuk menanggapi isu eksploitasi hewan yang terancam punah untuk dijadikan objek komoditas. 

Komodifikasi (comodification) menurut Pialang adalah sebuah proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi sehingga kini menjadi komoditi. Barker mendefinisikan komodifikasi sebagai proses asosiasi terhadap kapitalisme, yaitu objek, kualitas dan tanda dijadikan sebagai komoditas. Komoditas adalah sesuatu yang tujuan utamanya adalah untuk dijual ke pasar. 

Dalam artian komodifikasi, sesuatu hanya akan menjadi sebuah komoditas, setiap hal dapat menjadi produk yang siap dijual. Makna dalam komodifikasi tidak hanya bertolak pada produksi komoditas barang dan jasa yang diperjualbelikan, namun bagaimana distribusi dan konsumsi barang terdapat seperti yang diungkapkan Fairclough, komodifikasi adalah proses.

Adanya Surat Edaran nampaknya tidak terlalu berpengaruh terhadap praktik sirkus lumba-lumba keliling. Hal ini menimbulkan opini bahwa Indonesia kuat hanya regulasi namun minim praktik. Berita online maupun cetak hingga saat ini masih seringkali memberitakan isu tersebut, dapat dikatakan praktik sirkus lumba-lumba masih tetap digelar. Hal ini membuat beberapa komunitas pecinta dan pelindung satwa makin gencar untuk menggerakkan masarakat agar menolak praktik sirkus lumba-lumba. Mereka tidak menyurutkan tekad untuk memperjuangkan hak hidup lumba-lumba.

Sumber

Mosco, Vincent. (1996). The Political Economy of Communication. UK: Sage Publication

S. Sutoyo. (2015). Paradigma Perlindungan Lingkungan Hidup. PDF. Diakses melalui https://media.neliti.com/media/publications/53278-ID-paradigma-perlindungan-lingkungan-hidup.pdf (Minggu, 5 November 2017). William, Anton. (2012). Berbagai Penyiksaan Terhadap Lumba-lumba Sirkus.https://tekno.tempo.co/read/430387/berbagai-penyiksaan-terhadap-lumba-lumba-sirkus (Minggu, 5 November 2017).    

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun