Hyoscyamina, D. E. (2011) mengutarakan bahwa kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari tidak semua keluarga mencapai keluarga yang bahagia. Banyak diantaranya mengalami permasalahan, baik dalam hubungan suami istri, pendidikan bagi anak, ekonomi dalam keluarga, hubungan keluarga dengan masyarakat, dll. Hal ini tentunya bukanlah keinginan ataupun kehendak mereka dalam membangun sebuah keluarga, tapi permasalahan tersebut dapat muncul karena berbagi faktor. Wirawan (1992, h.17) menjelaskan bahwa masalah dalam keluarga dapat muncul karena sejatinya setiap manusia tidak akan pernah terlepas dari masalah.
      Sebuah keluarga dapat dikatakan mencapai titik bahagia dan sehat, saat mereka termasuk dalam kriteria-kriteria penting, seperti mampu mengetahui perkembangan anak dengan baik, kehidupan yang beragama dengan taat, memiliki waktu berkumpul bersama, memiliki pola konsumsi yang dapat dirasakan bersama, serta dapat saling menghargai (Yanti, 2020). Pengertian tersebut tentunya merujuk pada fungsi dari sebuah keluarga, dimana didalamnya harus dapat menjalankan setiap fungsinya dengan baik (Ulfiah, 2016).
      Terlepas dari pengertian dan fungsi keluarga tersebut, tentunya setiap orang memiliki definisi keluarga yang berbeda. Banyak dari mereka yang berpendapat bahwa keluarga adalah tempat kita untuk bercerita, keluarga adalah tempat untuk berlindung, keluarga hanyalah sebuah hubungan antara beberapa orang yang terikat dalam sebuah darah, dan masih banyak lagi. Maka dari itu kita tidak dapat menghakimi setiap orang untuk memiliki definisi keluarga yang sama dengan kita, karena pada kenyataanya kondisi setiap keluarga pasti berbeda satu sama lain, ada yang kaya, miskin, keluarga yang utuh, ada keluarga yang utuh namun tidak tercapai fungsinya, broken home, dll. Saat ini pun masih banyak ditemui keluarga utuh namun didalamnya tidak terdapat fungsi yang berjalan dari setiap anggota keluarga, tidak harmonis, dan tidak memiliki waktu untuk bersama, yang kemudian menimbulkan masalah-masalah baru baik untuk orang tua maupun anak.
      Saat menghadapi konflik antara orang tua dan anak, penting bagi orang tua untuk mendiskusikan dan memahami sudut pandang anak dengan tetap menjaga nilai-nilai kekeluargaan. Konflik keluarga dapat diselesaikan melalui berbagai cara yang dapat diterapkan dalam keluarga, seperti berdiskusi, membuka komunikasi yang baik, saling mejaga empati, dll. Penyelesaian perselisihan dalam keluarga dapat diselesaikan melalui proses secara independen maupun dukungan pihak ketiga, salah satunya adalah dengan bantuan konselor melalui proses konseling.
      Konseling pada umunya adalah sebuah interaksi antara konselor dan konseli (Lase, E; 2021). Konselor memliki peran yang sangat membantu dalam menjaga keharmonisan kelurarga, baik dengan mencegah maupun mengatasi masalah dalam keluarga (Purba ert al., 2023). Konseling keluarga dapat membantu penyelesaian konflik keluarga dari berbagai aspek, seperti memberikan pemahaman akan cinta tulus dari setiap anggota keluarga, menambah insight mengenai kehidupan keluarga yang mungkin belum diketahui, menyadarkan mengenai peran setiap anggota keluarga, serta membantu mengembangkan setiap aspek supaya dapat lebih optimal sehingga tercapai tujuan dan fungsi yang maksimal dalam sebuah keluarga. Konserling keluarga juga menjadi salah satu cara yang baik untuk menciptakan hubungan yang baik antara orang tua dengan anak sehingga tercipta kondisi rumah yang "kuat dan sehat". Â
      Dalam konseling keluarga, konselor berperan sebagai fasilitator. Konselor akan memberikan kemudahan dalam pembukaan dan pengarahan komunikasi yang baik dalam kehidupan keluarga. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam permasalahan keluarga adalah dengan Bowenian family therapy. Teori Bowen menekankan pada kebutuhan diferensiasi dalam tingkat perilaku dan kognitif untuk lebih baik interaksi interpersonal dan intrapersonal dan mendefinisikan individu yang berbeda sebagai mereka yang mengendalikan situasi dengan kesadaran akan pikiran, perasaan dan opini dalam situasi yang sangat emosional. Bowen menjelaskan bahwa tujuan dari pelaksanaan family therapy adalah untuk membantu klien atau anggota keluarga untuk dapat mencapai sisi individualitas, sehingga dirinya menjadi hal yang berbeda dari sistem keluarga, atau dalam kata lain tujuan dari konseling ini adalah membantu konseli supaya mampu berinteraksi dengan anggota keluarga tanpa menimbulkan emosional yang berlebih.
      Konselor dalam sesi konseling keluarga diharapkan memiliki ketrampilan yang profesional, sehingga nantinya dapat mengantisipasi perilaku konseli (anggota keluarga) yang sedang mengalami kenaikan emosional dan kepribadian. Konselor diharapkan juga mampu membantu untuk mengembangkan komunikasi antara anggota keluarga supaya lebih dapat lebih. Dengan hal ini, diharapkan setiap konflik ataupun ketidaktercapaian fungsi dalam sebuah keluarga dapat teratasi dengan baik, salah satunya dengan bantuan pihak ketiga yaitu konseli melalui sesi konseling keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H