Mohon tunggu...
Shani Ramadhan
Shani Ramadhan Mohon Tunggu... -

Berjuang dengan hati, tuk gapai kebenaran yang hakiki

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

KONTROVERSI BRENT SPAR : SEBUAH CONTOH PENANGANAN KOMUNIKASI KRISIS YANG SALAH

2 Maret 2015   19:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:16 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1425275470738718131

Keterangan : Tulisan ini adalah rangkuman dari jurnal karangan Ragnar E Lofstedt dan Ortwin Renn yang berjudul “The Brent Spar Controversy : An Example of Risk Communication Gone Wrong” yang dipublikasikan pada tahun 1997.

[caption id="attachment_371138" align="alignleft" width="341" caption="Brent Spar"][/caption]

Brent Spar adalah sebuah lokasi pertambangan dan penyimpanan minyak milik perusahaan Shell and Exxon yang terletak di tengah laut Samudra Atlantik bagian utara. Keberadaan Brent Spar menjadi sebuah kontroversi tatkala media massa menyoroti lokasi itu sebagai tempat pembuangan pelampung berisi limbah industry.

Pada mulanya tak ada yang salah dengan keputusan pihak Shell membuang limbah ke laut. Hal ini dikarenakan keputusan tersebut sudah mendapat restu dari John Major beserta jajaran pemerintahan inggris dan dianggap memenuhi syarat sebagai pilihan lingkungan praktis terbaik (BPEO). Namun semua itu berubah 180 derajat ketika para aktivis Greenpeace yang berbasis di Jerman menggencarkan kampanye penolakan penenggelaman limbah Brent Spar ke laut karena dianggap mencemari kehidupan laut. Untuk menyuseskan kampanyenya, Greenpeace meminta pemerintah Jerman, Denmark, dan Swedia untuk menyayangkan penenggelaman itu.

Sebelum menenggelamkan tempat yang sudah tidak digunakan selama 5 tahun itu, Shell sebenarnya sudah melakukan sekitar 30 kajian terpisah terkait dampak lingkungan yang akan ditimbulkan dari pembuangan itu. Ada beberapa pilihan tempan pembuangan, salah satunya di darat dan satu lagi di laut. Pilihan jatuh pada pembuangan ke laut karena dampak lingkungannya dianggap paling minim. Setelah keputusan itu matang, Shell meminta izin Departemen Perdagangan dan Industri Inggris (DTI). DTI menyetujuinya. Setelah itu DTI memberi tahu rencana Shell ke negara Eropa yang lain. Namun, tidak ada satupun negara Eropa yang meresponnya sampai tanggal di mana Shell akan meneggelamkan Brent Spar.

Hari itupun tiba. Shell akan menenggelamkan seluruh limbah industry yang ada di Brent Spar ke laut. Namun saat itu juga ada isu bahwa para aktivis Greenpeace sudah menduduki Brent Spar. Mereka tidak ingin Brent Spar ditenggelamkan. Tentu penenggelaman itu tak jadi dilakukan. Tapi isu itu berkembang dan menjadi sorotan media. Di sini Greenpeace berteriak lebih kencang. Mereka menggelar petisi untuk memboikot perusahaan itu. Hasilnya, menurut survey yang dilakukan Greenpeace, 74% penduduk Jerman memboikot pom bensin milik Shell.

Sementara itu makin banyak negara Eropa yang mengutuk penenggelaman Brent Spar. Tak lama setelah itu, Greenpeace kembali menduduki Brent Spar. Kali ini mereka memiliki alasana ilmiah. Menurut mereka, di tempat itu terkandung logam berat yang sangat banyak dan kandungan racun organic yang tinggi. Pernyataan itu tidak pernah disampaikan Shell sebelumnya. Saat itu pula, protes terhadap penenggelaman Brent Spar semakin tinggi.

Di Jerman sendiri, bentuk protes itu dapat dilihat dari 1728 pom bensin milik Shall, 20% nya mendapat penghasilannya di bawah rata-rata. selain itu, sekitar 200 pom bensin berada dalam ancaman penyerangan, sementara sekitar 50 pom bensin lainnya dirusak.

Dengan segala pertimbangan itu, Shell akhirnya memutuskan tidak jadi menenggelamkan Brent Spar. Pemerintah Inggris yang selama ini telah membantu Shell merasa dikhianati. Mereka merasa pengenggelaman Brent Spar adalah keputusan terbaik karena telah dikaji berdasarkan BPEO. Tapi dengan pembatalan itu, otomatis Pemerintahan Inggris makin “dibully” oleh banyak negara-negara Eropa.

Hal yang paling ditekankan dari contoh di atas adalah Shell dianggap gagal mengatasi problem komunikasi krisis. Walaupun keputusan ini dinilai mempunyai dampak lingkungan yang minim, tapi tetap saja ada celah yang bisa dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk tidak menyetujuinya. Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa program itu bisa gagal terlaksana :

Pertama, keberanian aktivis Greenpeace melawan perusahaan besar semacam Shell and Exxon. Bahkan untuk melakukan itu, Greenpeace rela berjuang menduduki Brent Spar. Ini tentu menjadi hal menarik dan mendapat perhatian media karena dianggap seperti pertarungan David melawan Golliath.

Kedua, bagi publik, Shell terlihat rakus. Memang, pembuangan di darat membutuhkan dana yang lebih besar dari pada di laut untuk mengurangi dampak lingkungan. Namun publik mempunyai kesan bahwa Shell serakah dengan tidak mau mengeluarkan modal yang banyak. Hasilnya, public tidak terlalu mempedulikan lagi kajian yang dianggap sudah memenuhi standar BPEO.

Ketiga, Shell terlihat sebagai target yang mudah untuk diboikot. Hal ini dikarenakan mereka hanya mempunyai bisnis di ranah industry minyak saja. Hal ini tentu berbeda dengan perusahaan Philip Morris, yang melakukan diversifikasi dengan membuka bisnis makanan dan tembakau, atau mungkin bisnis lainnya. Akan lain jadinya apabila Shell membuka bisnis lain, misalnya produk makanan atau media, yang membuatnya susah untuk diboikot.

Keempat, negara yang memberi izin kepada Shell, dalam hal ini Inggris, sebenarnya sudah menjalin tali pertemanan dengan perusahaan itu sejak lama. Sementara negara-negara lain, seperti Jerman, Denmark, atau Swedia, belum terjalin dengan Shell.

Terakhir, masalah ini telah menjadi isu soal moral, di mana lautan merupakan habitat yang seharusnya dijaga agar tetap lestari.

Selain itu, ada satu hal yang tak bisa dilepaskan dalam menyebarkan isu ini, yaitu agenda. Media yang memberitakan masalah ini dengan intensif secara tidak langsung telah mengalihkan perhatian publik dari topik lainnya. Berikut beberapa factor yang membuat media massa merasa layak mengangkat topic ini.

Pertama, diawali sebuah poster yang dibuat oleh aktivis Greenpeace yang menggambarkan sebuah lokasi pertambangan di tengah laut yang diserang oleh kapal milik Shell. Gambar itu menarik perhatian banyak khalayak.

Kedua, Shell hanya melobi pemerintah Inggris untuk mendapat persetujuan mengenai penenggelaman Brent Spar. Shell lupa bahwa mempengaruhi publik sebenarnya adalah hal yang yang paling penting. Hasilnya, Shell dan pemerintah Inggris digambarkan sebagai kapitalis yang rakus dan angkuh oleh media. Berita inipun akan mendapat atensi yang cukup besar di kalangan public.

Ketiga, masalah ini telah menjadi perbincangan internasional. Tapi sayangnya, banyak negara yang tidak memperoleh keuntungan dari keberadaan Shell. Bahkan, Negara-negara yang melawan pembuangan limbah minyak ke laut itu merupakan Negara yang tidak mempunyai cadangan minyak.

Dari hal di atas, sangat jelas banyak sekali hal yang luput dipertimbangkan oleh Shell dalam menangani kemungkinan adanya krisis. Namun ada alasan krusial di dalam perusahaan Shell sendiri mengapa mereka tidak bisa menangani krisis tersebut. Berikut faktor-faktor itu :

Pertama, Shell menggunakan pendekatan top-down di mana yang pertama kali dihubungi adalah pemerintah, dibandingkan dengan pendekatan dengan dialog. Akibatnya, Shell terasing dari publik dengan cepat. Seharusnya di sini Shell segera berdialog dengan masyarakat untuk mempertimbangkan keputusan perusahaan itu membuang limbah ke laut.

Kedua, Shell tidak dipercaya oleh publik. Berdasarkan penelitian, kebanyakan warga negara yang tinggal di Jerman dan Inggris pada dasarnya lebih percaya dengan Organisasi non-Profit dibanding dengan sebuah perusahaan besar. Dalam kasus ini, Shell tidak bisa mengurangi ketidakpercayaan publik. Selain itu, Shell tidak punya suara yang lantang untuk menandingi suara Greenpeace.

Ketiga, Shell tidak bisa melawan makna simbolik dari pembuangan limbah di laut. Membuang sampah di laut dan merusak ekosistem secara moral memang sudah salah, dan hal itulah yang membuat Greenpeace mendapat banyak dukungan.

Keempat, tidak ada alasan ilmiah untuk melawan alasan yang dikeluarkan Greenpeace. Seharusnya, Shell berkonsultasi dengan para ilmuwan terlebih dahulu agar bisamenyebarkan wacana ilmiah terkait alasan mengapa mereka membuang limbah di laut.

Terakhir, karena alasan yang diajukan Greenpeace lebih rasional dan Shell tidak bisa melawannya, maka media massa, dalam pemberitaannya lebih memihak Greenpeace.

Oleh karena hal di atas, sebuah perusahaan harus mempunyai kesabaran dalam mendapat persetujuan dari masyarakat. kata orang bijak, segala sesuatu tidak bisa didapatkan dengan cara yang instan. Oleh karenanya, perlu ada kajian mendalam mengenai Stakeholder dari sebuah kebijakan yang dilakukan Shell and Exxon agar kebijakan mereka dapat persetujuan dari orang banyak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun