Tanja Bosch menuliskan bahwa perkembangan jurnalisme digital di Afrika Selatan berfokus pada penggunaan user generated content yang merupakan fitur utama sosial media.Â
Penyebaran berita oleh jurnalis sebagian besar menggunakan sosial media seperti Facebook dan Twitter. Hal ini dilakukan agar dapat menjangkau feedback dari audiensnya.
Penggunaan sosial media memungkinkan narasumber penting untuk menyatakan pendapat langsung melalui media itu. Pada hal ini maka dengan mudah mendapatkan verifikasi informasi terhadap narasumber.
Pendapat dari narasumber tersebut akan menjadi rujukan untuk wartawan lainnya memverifikasi informasi awal yang telah diunggah.
Jurnalisme dan Afrika Selatan
Sejarah singkat tersebut membuka mata kita akan kegigihan masyarakat Afrika Selatan mempelajari jurnalisme dan komunikasi massa. Telah banyak wartawan yang meliput budaya, memberikan dorongan bagi masyarakat Afrika Selatan untuk hal yang sama.
Munculnya televisi yang memuat konten merupakan dorongan awal untuk masyarakat. Banyak masyarakat yang membuka suara untuk sebuah perbaikan berita di siaran televisi.
Para kaum terpelajar masa itu juga memberikan banyak pendapat. Afrika Selatan yang saat itu masih banyak diduduki oleh negara Apartheid menjadi satu kesulitan bagi masyarakat dalam mendalami ilmu jurnalisme.
Pada tahun 90-an akhir mulai muncul karya- karya dari penduduk Afrika Selatan asli. Munculnya kontribusi ini karena adanya SACOMM dan ACCE. Masyarakat Afrika Selatan banyak berpartisipasi dalam kongres dan liputan.
Wartawan Afrika Selatan saat ini sangat bergantung pada media sosial. Penggunaan media sosial di negara ini sangat tinggi.
Jurnalisme digital menjadi cara untuk wartawan bertahan hidup. Wartaman menggunakan Instagram, Facebook, Twitter serta media sosial lainnya.