Nongkrong di coffe shop bukan cuma jadi kebisaan orang dewasa, tetapi juga menjadi kegiatan favorit di kalangan remaja masa kini namun dengan tujuan yang berbeda. Bagi remaja, berkunjung ke coffe shop menjadi sebuah kebiasaan populer, di mana mereka tidak hanya membeli menu-menu yang berada di coffe shop, tetapi juga mencari nilai-nilai prestise.
Mereka berkunjung ke coffe shop untuk memperoleh status sosial atau kebanggaan tersendiri. Erik erikson dalam teorinya mengatakan bahwa remaja menghadapi krisis identitas dengan peran konfusi, mereka mencari jawaban untuk pertanyaan, “Siapa dirinya?” dan “Apa yang saya butuhkan di dunia ini?”.
Dalam pencarian jati diri tersebut melibatkan nilai dan minat pribadi. Namun, pada saat ini remaja mengalami kesulitan mengidentifikasi diri mereka karena memrioritaskan pada sesuatu yang sedang populer dibanding dengan nilai dan minat pribadi mereka atau dikenal sebagai istilah FOMO (Fear Of Missing Out).
Kalian pasti sudah tidak asing kan dengan istilah FOMO? Nah, FOMO ini ialah suatu kegelisahan yang muncul ketika seseorang merasa tertinggal atau tidak mengetahui kegiatan orang lain di platform media sosial seperti Instagram, Twitter, Tiktok, dan media sosial lainya. Hal itu membuat mereka selalu ingin terhubung dengan media sosial.
Kebiasaan nongkrong di coffe shop bagi para remaja ini sangat berhubungan erat dengan kebutuhan aktualisasi diri. Dalam teori dramatugi yang dikembangkan oleh Erving Goffman, yaitu setiap individu dianggap memiliki dua panggung, yaitu panggung depan (front stage) dan juga panggung belakang (backstage).
Konsep ini dapat dikaitkan dengan kebutuhan aktualisasi diri para remaja di coffe shop yaitu dengan menunjukan front stage ketika mereka mendatangi coffe shop, di sana mereka mengekspresikan dirinya dengan menggunakan penampilan yang mengikuti tren terkini atau para remaja biasa menyebutnya dengan sebutan OOTD (Outfit Of The Day).
Dengan menggunakan OOTD yang trendy, mereka ingin terlihat gaul dan mendapatkan validasi dari orang lain bahwa mereka eksis dan modis. Bahasa yang digunakan para remaja ini juga menggunakan bahasa gaul yang juga termasuk kedalam pertunjukan yang dimainkan oleh para remaja tersebut (front stage).
Para remaja ini juga cenderung membeli coffe dan makanan yang kebarat-baratan. agar saat di upload ke sosial media terlihat gaul dan estetik oleh pengikutnya di sosial media. Dan backstage ialah ketika para remaja ini ada di rumah, yang mana saat di rumah mereka ini hanya berpenampilan yang biasa saja dan tidak memperhatikan style.
Wujud aktualisasi yang dilakukan oleh remaja pada saat nonkrong di coffe shop adalah dengan melakukan update status di media sosialnya sebagai pengungkapan diri di mana keberadaan remaja tersebut ingin disadari keberadaanya dan divalidasi oleh orang lain bahwa mereka adalah seseorang yang mengikuti trend.
Selain itu, mereka mengunggah sebuah brand makanan ataupun minuman di mana dengan tujuan memamerkan kepada pengikutnya bahwa mereka mampu membeli brand tersebut. Bahkan tidak jarang para remaja tersebut menongkrong hingga tengah malam di sebuah coffe shop bersama dengan teman-temanya hanya sekadar untuk mengobrol biasa saja atau hanya untuk membuang-buang waktu saja karena tidak ada tujuan yang jelas.