Mohon tunggu...
shandy fahri azmie
shandy fahri azmie Mohon Tunggu... profesional -

saya seorang yang ingin terus belajar menulis karena semakin saya belajar semakin saya merasa kurang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sati

2 Mei 2012   21:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:49 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Laki-laki ketika meninggal membawa

apa saja yang Ia miliki, termasuk Istrinya…

Bunda, bangunkan aku besok pagi ya… besok pagi aku harus sampai di sekolah pagi-pagi sekali”. Pesan itu yang kusampaikan pada Ibuku sebelum aku tidur malam ini. Tadi siang sebulum pulang sekolah, Pak Ram guru sastraku menjanjikan bagi siapa saja yang besok datang paling awal sebuah hadiah. Entah hadiahnya seperti apa, tetapi aku senang saja kalau Pak Ram yang memberikannya. Apalagi kalau Ia sampai suka kepadaku. Maklum, Ia adalah guru baru yang baik. Sebenarnya sih bukan karena itu. Ia ganteng. Persis sekali seperti bintang film favoritku, Sharuk Khan. Tapi Ia agak lebih tinggi sedikit. Dengan kaca mata dan lesung pipit dikiri wajahnya.

Setiap Ia mengajar dua kancing kemejanya pasti selalu terbuka. Bukan karena untuk bergaya atau mengikuti trand fasion saat ini. Akan tetapi lantaran sekolahku memang cukup panas dan takada pendingin ruangan seperti sekolah di kota besar. Apalagi jika hari sudah menjelang siang. Dari sela-sela kemejanya terlihatbulu dada yang aku jamin pasti siapapun anak gadis yang melihat akan terpesona. Salah satunya adalah aku tentunya.

**

Salah satu hari yang paling kuingat adalah hari dimana aku harus melakukan apa yang takingin kulakukan. Sesuatu yang membuat pertanyaanku takmenemukan jawabannya. Ketidakadilan. Mungkin itulah yang sekarang kurasakan. Perasaan mengapa aku harus melakukan itu. Sebuah ritual atas nama agama bagaimana seorang wanita diperlakukan serendah ini. Bagaimana mungkin seorang istri harus ikut meninggal ketika suaminya meninggal. Bukankah itu adalah pelanggaran atas hak hidup seseorang.

Apalagi hal itu hanya dialami oleh wanita. Mengapa Tuhan melahirkan aku dalam lingkungan tradisi seperti ini? Dimana budaya pathriarki menjadi hal tabu untuk dibahas. Bahwa dominasi laki-laki atas wanita dilegalkan oleh agama. Memang takbisa dielak bahwa secara fisik wanita lebih lemah dibanding laki-laki. Hal itu tak kuragukan kebenarannya,. tetapi memposisikan wanita sebagai benda aku sungguh takbisa terima. Mungkin bukan aku saja yang merasakan itu. Dibanyak kebudayaan atau bangsa lain aku yakin banyak yang mengalami hal ini. Tetapi dengan wujud yang berbeda tentunya.

**

Pagi itu usiaku baru menginjak 14 tahun. Usia yang masih sangat belia untuk mengenal kata-kata abstrak bernama cinta. Apa itu? Yang kutahu ketika ada Pak Ram jantungku berdebar-debar. Keringat keluar cepat dari telapak tangan dan waktu rasa berhenti sejenak. Pernah ketika Pak Ram pertama kali masuk ke dalam kelasku, selama jam pelajarannya aku takberhenti memandanginya. Teman-temanku heran melihat, dan ketika Ia menegurku karena takberhenti memandanginya, aku pingsan taksadarkan diri.

Sungguh itu adalah hal yang sangat memalukan. Beberapa minggu kedepannya hal itu menjadi trending topic di kelasku. Pernah sekali Ia meledekku dalam ruang kepala sekolah ketika aku dipanggil Pak Rajj, kepala sekolah. “Awas Pak nanti Riya keringat dingin dimarahi bapak!!!” sambil tertawa Ia menyapa dan berlalu. Tapi semakin Ia mengolok-olokku semakin merasa dekat aku dengannya.

Suatu ketika Bunda takbisamenjemputku pulang dari sekolah. Ada pamanku yang meninggal dunia. Permasalahan tidaksampai disitu karena dibudaya kami bagi wanita yang ditinggal suaminya meninggal maka Ia harus membakar dirinya sendiri sebagai lambing kesalehan seorang istri. Adat seperti apa itu? Aku takhabis pikir. Yang ada dipikiranku saat itu hanya simbol kepemilikan laki-laki atas wanita. Bahwa laki-laki ketika meninggal membawa apa saja yang Ia miliki, termasuk istrinya.

Nah ketika Bunda takbisa menjemput, Pak Ram-lah yang mengantarku pulang. Tampa ragu-ragu takmungkin kutolak ajakannya. Selama perjalanan, Ia bercerita banyak banyak kepadaku. Mulai dari latar belakang keluarganya, pendidikannya sampai sikapnya mengenai upacara keagamaan yang harus dialami bibiku itu.

“ Kamu tahu apa yang akan dialami Bibimu setelah suaminya meninggal, Riya?”. Ia bertanya kepadaku tiba-tiba.

“Tidak Pak. Memangnya kenapa dengan Bibi?”. Balasku penasaran.

“Ia harus mengikuti suaminya meninggal…”. Dengan wajah datar.

“Loh, kok begitu pak?”. Tanyaku heran.

“Ia Riya, setelah seorang suami meninggal sang istri harus mengikutinya, dengan cara membakar dirinya sendiri hingga meninggal. Dan yang takhabisbapak pikirkan adalah mereka yang melakukan upacara itu dianggap sebagai sebuah bukti kesalehan seorang istri terhadap suami!!!”. Menjelaskan dengan pandangan kosongnya.

Namun akhirnya aku tahu mengapa Ia begitu benci dengan upacara itu. Ia mengatakan kepadaku bahwa dahulu Ibunya juga melakukan hal seperti itu. Ketika usianya tujuh tahun, ibunya harus melakukan upacara itu padahal saat itu Ia masih sangat memerlukan Ibunya. Oleh karena itu Ia berjanji kepada dirnya tidak akan melakukan hal yang seperti itu ketika Ia meninggal kepada Istrinya nanti.

Sejak itu aku begitu sangat mencintainya. Bukan hanya lantaran Ia tampan, tapi lantaran Ia mempunyai sikap yang sama seperti itu. Kami jalan bersama walau takseorangpun tahu akan hal itu. Hingga aku lulus sekolah dan berniat melanjutkan ke universitas di New Delhi. Dengan menggunakan uang 200.000 Rupee dalam bentuk tv, kulkas dan perhiasan emas Ia melamarku.

**

Namaku Kariya Bai. Aku tinggal di desa Baniyani, salah satu desa terpencil di India Utara. Penduduknya rata-rata berprofesi sebagai petani. Dari profinsi kamilah sebagian kebutuhan pangan di India dipenuhi. Namun, bukan gambaran menarik yang ditemui disana. Melainkan kemiskinan yang ada di pinggir-pinggir jalan. Padahal beberapa dealer-dealer otomotif terkemuka dunia banyak ditemui disana. Sebut saja macam Ferrari atau Marcedes. Inilah imbas dari program pemerintah yang kurang tepat dalam bidang ekonomi menurutku. Disaat negeri ini belum siap untuk lepas landas negeri ini dipaksakan. Akibatnya seperti inilahlah, kemiskinan dimana-mana, pengangguran merajalela, kriminalitas meningkat tajam, yang paling parah adalah tingkat pendidikan yang rendah. Akibatnya adalah pola pikir masyarakatnya yang masih percaya takhayul dan klenik.

Beruntungnya aku dilahirkan dalam keluarga terpandang. Ayahku Rhaj Bai adalah seorang tuan tanah disana. Namun bukannya kebahagiaan yang kurasakan. Sebab, sementara aku makan enak banyak orang disekitarku yang harus memikirkan besok akan makan apa. Atau ketika aku takperlu khawatir akan panasnya perjalanan ke sekolah, banyak orang yang harus membasuh keras-keras keringat yang keluar dari kulit mereka menahan panas ketika berpergian. Mungkin inilah yang menjadi alasan mengapa aku terbiasa kritis menanggapi hal apapun.

Inilah yang menjadi akr permasalah disini. Bahwa banyaknya universitas-universitas berkelas di negara ini tak menjamin naiknya tingkat pendidikan. Hal tersebut dikarenakan banyaknya lembaga pendidikan takdimbangi oleh naiknya perekonomian masyarakatnya. Orang hanya berfikir bahwa membangun negara adalah dengan pendidikan tanpa memikirkan bagaimana orang bisa membayar biaya sekolah yang mahal.

**

Ini adalah roti chane dengan kari terakhirku. Semua terasa hambar. Saat sinar matahari perlahan dari sela-sela daun pepohonan dan jatuh ke lantai kamarku setelah melewati jendela.Bahwa tingginya tingkat pendidikan yang telah kuraih takberpengaruh terhadap tradisi yang mengikat ini. Ya..sampai saat ini aku masih mempertanyakan mengapa sati bisa ada di dunia ini.Alasan-alasan apapun takbisa kuterima. Mungkin memang benar setelah ditinggal suami, seorang wanita akan dicemooh orang bahkan oleh keluarga mereka sendiri lantaran dianggap sebagai penyebab kematian suaminya. Tapi mengapa harus membunuhnya? Apalagi dengan cara membakar dirinyanya hidup-hidup.

Memang bagi kami, masyarakat Hindustan. Api adalah lambang kesucian. Hal itu dikarenakan sebuah cerita bahwa untuk membuktikan kesuciannya maka Shinta melompat ke dalam api. Bedaya adalah ketika masuk ke dalam api Ia tidak terbakar dan merasakan panas. Bagaimana dengan kami? Apakah kami akan merasakan hal yang sama? Dari apa yang kuketahui tidak ada yang merasa tidak tersiksa saatmembakar diri sendiri. Atau mungkin dalam agama lain seperti dalam Islam ketika Ibrahim masuk ke dalam api dan Tuhannya merubah api itu menjadi dingin. Apakah para wanita di India merasakan dingin juga. Yang kutahu ketika hal itu terjadi mereka menjerit kepanasan sampai nyawa mereka hilang. Bodoh.

Api itu sudah terbakar. Tepat ditengah-tengah halaman rumah kami. Mereka membuatnya sangat besar sampai-sampainya panasnya terasa dalam rumah. Warnanya merah terang. Mungkinkah surga ada di baliknya. Aku taktahu. Yang pasti aku harus menjalaninya meski aku takmau. Langkah berat menghampiriku. Perlahan. Langkah demi langkah. Namun bukan lagi pikiran ketidaksetujuanku akan upacara ini, melainkan bayangan wajah suamiku. Ram.

Dengan tubuh dibungkus kain sari putih sebagai lambang berkabung dan tali yang mengikat tubuh aku digiring mereka. Lantunan syair-syair pujian kepada Dewi Sati berkumandang takhenti-hentinya. Ketika itu aku tiba-tiba teringat saat-saat pertama kami bertemu di sekolah. Saat-saat Ia mengantarku pulang. Saat-saat Ia berbicara mengenai kebenciannya terhadap upacara laknat ini. Yang ternyata harus kualami juga, Istrinya. Dalam pandanganku, wajahnya tersenyum simpul sambil samar-samar berkata kepadaku. “Ia sebenarnya takmenginginkan semua ini, karena sebenarnya kita belum benar-benar berusaha sekuat tenaga kita”.

Beberapa ketika aku berusaha mencerna bayangan kata-kata almarhum suamiku itu. Berfikir mengapa Ia berkata seperti itu. Apakah Ia senang ketika aku menyusulnya ke alam baka, atau Ia mencoba mengatakan kalau aku belum benar-benar melawan tradisi yang mengikat itu.

Panas. Tanpa sadar tubuhku sudah berada dalam api yang menjilat-jilat, melahap seluruh tubuhku seketika semua menjadi gelap dan tiba-tiba cahaya terang muncul dari titik kecil samar dan membesar ketika semua tampak jelas dan ternyata di hadapanku suamiku sedang pulas tertidur dan wajahnya yang meres tepat di depan mukaku.

**

Lima tahun setelah suamiku benar-benar meninggal. Kini aku bekerja di PBB menangani masalah yang dihadapi wanita di seluruh dunia, khususnya masalah ketertindasan wanita atas pria. Oleh karena itu sekarang aku tinggal di New York. Di salah satu apartment di Bronx. Tempatnya memang tidak terlalu bagus. Lebih sempit memang dari rumah kami yang di Baniyani, namun bagiku terasa luas. Tidak adalagi ketakutan akan tradisi yang ternyata bisa kami hindari. Bahwa segala hal pasti selalu ada pilihannya. Dan aku memilih pilihanku sendiri.

Shandy Fahri Azmie

Rawamangun, 7 Februari 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun