Mohon tunggu...
Santini
Santini Mohon Tunggu... Penulis - Freelance Penulis, Ibu Rumah Tangga

Hamba Allah yang senantiasa memperbaiki diri

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menaikkan Tukin Bawaslu Menjelang Pemilu, Serangan Fajar Versi Konstitusional

14 Februari 2024   06:16 Diperbarui: 14 Februari 2024   10:27 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Demokrasi Indonesia sudah benar-benar sampai di tepi jurang, selangkah lagi demokrasi akan terjun bebas. Di tangan Presiden Jokowi, secara teknis demokrasi memang masih berjalan. Akan tetapi, secara substansi kekuasaan mengambil alih esensi demokrasi.

Ajaibnya semua itu dilakukan dalam bingkai konstitusi oleh orang yang mendapat legitimasi dari demokrasi. Presiden Jokowi sudah tanpa malu terang-terangan menjajakan anaknya sebagai penerus kekuasaan.

Tradisi Feodal

Di mulai dari memanipulasi keputusan MK, mempolitisasi bansos, berkampanye dari fasilitas negara, membaca potongan undang-undang dan menafsirkannya secara serampangan tentang presiden yang boleh berkampanye, sampai pada serangan fajar kepada Bawaslu.

Istana berdalih bahwa prosedur pengajuan kenaikan tukin sudah dimulai sejak lama. Tepatnya pada Oktober 2023 oleh kementerian terkait. Kenaikan tukin pun didasarkan pada peningkatan penilaian indeks Reformasi Birokrasi (RB) Setjen Bawaslu oleh Kemen PAN & RB pada Tahun 2021, yaitu sebesar 68,80 yang kemudian meningkat pada tahun 2022 menjadi 72.95.

Senada dengan bantahan prihal MK, bansos dan netralitas presiden, istana memberikan pernyataan normatif dan cenderung melakukan pembodohan publik. Istana saat ini sudah telanjang, keberpihakannya dalam pemilu sudah terendus lama, diperparah dengan majunya putra mahkota. Tradisi feodal tengah di pertontonkan.

Serangan Fajar Versi Konstitusional

Naiknya tukin Bawaslu di 2 hari menjelang pemilu sama dengan serangan fajar para caleg busuk pada pemilih bayaran. Tapi bedanya kenaikan ini seolah lebih elegan karena dilakukan oleh elitis kekuasaan.

Konstruksi berpikir rakyat harus dibenahi. Jokowi saat ini bukan hanya sebagai Presiden Indonesia, tetapi juga sebagai keluarga dari kandidat yang tengah berlaga. Terlebih lagi aroma cawe-cawenya sudah terang benderang. Kebijakannya tidak bisa dipisahkan dari kepentingan pribadi yang terindikasi akan membangun dinasti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun