Mohon tunggu...
Syamsudin
Syamsudin Mohon Tunggu... Guru - Pencari Ilmu

Seorang musafir dari alam ruh dalam perjalanan singkatnya menuju alam ukhrawi, dari ketiadaan menuju keabadian, yang berusaha meninggalkan atsar/legacy.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

(Jadikan) Masjid Ramah Jemaah

2 Desember 2024   08:00 Diperbarui: 2 Desember 2024   08:28 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiba-tiba ingin bercerita. Ini pengalaman pribadi. Waktu itu, seperti tradisi Indonesia lazimnya, saat Idulfitri kami keliling berlebaran. Karena kami asli Pondok Pinang, kunjungan ke sana adalah kemestian.

Nah, satu sore, giliran kami berlebaran ke rumah saudara umi (ibu mertua saya) di Gang Kramat. Setelah bersalam-salaman dengan keluarga yang kami kunjungi, saya segera berlalu ke masjid karena belum salat Asar sementara hari sudah menjelang pukul 5.

Selepas berwudu, saya nyalakan kipas angin yang terpasang di dinding sebelum melaksanakan salat Asar. Posisinya cukup tinggi, mungkin hampir 3 meter dari lantai.

Setelah salat, saya rebahan persis berhadapan dengan kipas angin dan hmmm sejuk, hampir saja terlelap. Dalam kondisi sedemikian rupa, saya kaget ketika ada seorang pria, sepertinya warga---entah pengurus masjid atau bukan saya tidak tahu, masuk ke masjid lalu bersiap mematikan kipas angin. Melihat saya terbangun, sontak ia berkata sambil menarik tali kipas angin ke arah angka 0, "Sayang-sayang listriknya mahal."

Saya tidak melihat ekspresi wajahnya saat mengatakan hal itu, tapi saya mendengar nada bicaranya: datar dan cuek. Saya tambah kaget, namun langsung menanggapi, "Oh iya, Pak. Matiin aja."

Batin saya kesal luar biasa. Ngedumel. Loh kok, gitu ya? Padahal jelas-jelas kipas anginnya tidak besar dan saya yakin tidak akan menghabiskan uang Rp100.000 untuk beli pulsanya. Bukankah, masjid adalah fasilitas umum yang didanai oleh umat dan umat (siapapun dia, warga ataupun musafir) berhak menerima dampak kebaikan dari dana yang dikumpulkan? Dari umat untuk umat. 

Kekesalan saya bertambah, ketika saya melihat kotak amal masjid ini penuh dengan uang (karena memang terbuat dari kaca) berdiri tegak di pinggir jalan. Batin saya menggerutu, "Apakah karena saya bukan warga dan bukan jemaah asli situ jadi saya tidak berhak mendapat belaian kipas angin?"

Saya kira tindakan pria tersebut tidak bijak. Bayangkan, itu kipas angin, loh. Apalagi kalau AC, bisa jadi habislah saya dicaci maki. Hahaha.

Ada lagi masjid di tempat tinggal saya. Saya diberitahu oleh istri saya bahwa ada seorang ibu yang memasang status whatsapp bernada kecewa terhadap pengurus masjid. Sang ibu menyayangkan sikap pengurus masjid yang melokalisir anak-anak saat salat Jum'at di tempat yang terkena matahari langsung. 

Dari status whatsapp-nya, ia memahami maksud pengurus adalah agar jemaah dewasa tidak terganggu ke-khusyu'-annya dengan keberadaan anak-anak yang notabene begitulah. Namun, sang ibu juga mengingatkan pengurus bahwa berisiknya anak-anak saat salat Jum'at tidaklah dihisab, sedangkan perilaku memanaskan anak-anak dengan terik matahari itu akan dihisab di hadapan Allah Swt.

Mungkin pembaca punya pengalaman lain. Perlu kita sadari bahwa terkadang pengurus masjid masih belum ramah terhadap jemaah, dan bisa jadi ketidakramahan itu merupakan salah satu penyebab tidak enggannya umat untuk datang ke masjid. Saya katakan, bisa jadi ya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun