Mohon tunggu...
Syamsudin
Syamsudin Mohon Tunggu... Guru - Pencari Ilmu

Seorang musafir dari alam ruh dalam perjalanan singkatnya menuju alam ukhrawi, dari ketiadaan menuju keabadian, yang berusaha meninggalkan atsar/legacy.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hadis Ke-25 Al Arba'in An Nawawiyyah

30 September 2024   14:59 Diperbarui: 30 September 2024   15:04 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari Abu Dzarr r.a. juga, ia berkata bahwa ada sejumlah orang sahabat Rasulullah saw. berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, orang-orang yang banyak hartanya memiliki pahala yang banyak. Mereka salat sebagaimana kami salat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka." Rasulullah saw. bersabda, "Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian jalan untuk bersedekah? Sesungguhnya setiap tasbih merupakan sedekah, setiap takbir merupakan sedekah, setiap tahmid merupakan sedekah, setiap tahlil merupakan sedekah, mengajak pada kebaikan adalah sedekah, melarang dari kemungkaran adalah sedekah, dan pada bagian tubuh kalian adalah sedekah." Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana bisa salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya lalu mendapatkan pahala? Beliau bersabda, "Bagaimana pendapat kalian seandainya hal tersebut disalurkan di jalan yang haram, bukankah akan mendapatkan dosa? Demikianlah halnya jika syahwat tersebut diletakkan pada jalan yang halal, maka ia mendapatkan pahala." (H.R. Muslim)

_______________________________

(1) Hadis ditakhrij oleh Muslim dalam kitab Zakat (1.674). Ucapan Rasulullah saw. (( budh' )) bermakna kemaluan

PEMBAHASAN

Membaca hadis ini terasa menyenangkan karena dengan hadis ini kita dapat memahami bahwa ada banyak cara untuk mendapatkan pahala. Al Bugha dan Misthu dalam Al Wafi Syarah Hadis Arba'in Imam An Nawawi menyatakan bahwa kata anna nasan yang dimaksud pada hadis di atas adalah fuqaraul muhajirin (kaum fakir dari golongan muhajirin). Jika dilihat dari sejarah, memang kondisi perekonomian kaum muhajirin tidaklah dalam posisi yang baik karena memang mereka adalah kaum muslim awal yang berstatus pendatang di Madinah. Bila kita lihat di awal perkembangan Islam, memang dapat dikatakan bahwa para penganut Islam awal berasal dari kelompok ekonomi lemah dan strata sosial rendah, sebutlah misalnya Bilal bin Rabah dan keluarga Amar bin Yasir. Hanya sedikit sekali yang memiliki ekonomi yang mapan dan strata sosial yang tinggi, contohnya Abu Bakar dan Utsman bin Affan. Sampai ketika kaum muslim Makkah diperintahkan untuk berhijrah, maka mereka berangkat ke Madinah dengan hanya membawa bekal secukupnya.

Paling tidak ada beberapa poin yang dapat kita simpulkan dari hadis ini, di antaranya yaitu:

  • Para sahabat memiliki kesadaran yang tinggi untuk mengisi kehidupan mereka dengan kebaikan. Situasi kekurangan harta seperti disebutkan di atas, menimbulkan kecemburuan dalam diri mereka terhadap orang-orang yang berkelebihan harta sehingga muncullah pernyataan dari mereka dzahaba ahlud dutsur bil ujur (orang-orang yang banyak hartanya memiliki pahala yang banyak). Sifat cemburu atau iri yang seperti ini tentu saja diperbolehkan karena sifat ini muncul dari keinginan untuk melakukan kebaikan yang sama seperti orang lain lakukan, tanpa berusaha membuat atau berharap agar orang lain tersebut kehilangan harta atau kebaikannya. Dalam ilmu akhlak, istilah ini dikenal dengan ghibthah. Berbanding terbalik dengan sifat hasad yang lebih cenderung bertujuan untuk menghilangkan kebaikan yang dimiliki orang lain.
  • Pada orang-orang yang memiliki karakter positif, kebaikan yang dilakukan orang lain akan menjadi informasi yang memotivasi untuk berpartisipasi melakukan kebaikan yang sama. Berbeda kondisinya dengan orang-orang yang memiliki karakter negatif, pada saat mereka mendapat informasi bahwa si fulan melakukan kebaikan, misalnya berinfak, maka mereka akan merespon secara buruk, misalnya dengan kata-kata ah riya itu namanya. Padahal riya dan ikhlas itu adalah urusan pelaku kebaikan dengan Allah Swt. Hanya Allah yang tahu isi hati orang yang berbuat kebaikan, sedangkan manusia hanya bisa menduga-duga.
  • Anjuran untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Para sahabat senang berlomba-lomba dalam kebaikan. Hal ini merupakan usaha mereka dalam menghayati firman Allah Swt. fastabiqul khairat (berlomba-lombalah dalam kebaikan). Ditambah lagi dengan banyaknya keterangan dalam Al Quran yang menyatakan bahwa Allah Swt. akan membalas satu kebaikan yang kita lakukan sepuluh kali lipat. Misalnya dalam Al An'am: 160.


Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).

Begitu pula dengan balasan yang lebih fantastis dalam Al Baqarah: 261


Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

  • Pada asalnya sedekah diberikan dalam bentuk harta dan menjadi bukti kebenaran iman (Ash shadaqatu burhan). Namun Rasulullah saw. memahami bahwa tidak semua orang memiliki kesempatan untuk bersedekah secara materi. Maka beliau secara arif dan bijaksana mengelompokkan semua kebaikan sebagai perbuatan yang bernilai sedekah (kullu ma'rufin shadaqah). Dalam banyak hadis Rasulullah saw. banyak menginformasikan hal ini. Semua amalan yang disebutkan dalam hadis ke-25 di atas yaitu zikir, amar makruf nahi munkar, sampai hubungan intim termasuk sedekah. Contoh kebaikan lain bernilai sedekah misalnya: memberi nafkah istri dan keluarga, mengisikan ember orang lain yang membutuhkan air, tersenyum, memahamkan orang tuli, menunjukkan jalan orang buta, menunjukkan arah orang yang tersesat, dan bergegas menjamu tamu.

Wallahu a'lam.

Sumber:

Al Bugha, Musthafa Dieb, dan Misthu, Muhyiddin, Al Wafi Syarah Hadis Arba'in Imam An Nawawi, terj. Wakhid, Rokhidin, Qisthi Press, Jakarta, 2014

An Nawawi, Abu Zakaria Yahya bin Syaraf, Kitabul Arba'in An Nawawiyyah (Ditahqiq oleh Ahmad Abdur Raziq Al Bakri, Maktabah Darussalam, Kairo, 2007

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun