Dari Ladang yang Paling Membutuhkan
Sesosok rekan saya bersama sang istri dan anak semata wayang mereka sudah tidak terlihat dalam pertemuan hari Minggu yang lalu. Beliau yang berciri khas bersuara menggelegar saat tampil di mimbar tetapi berbicara dengan nada suara cenderung rendah manakala sedang bercakap-cakap. Sekiranya seseorang belum pernah mendengar beliau berbicara di mimbar, mungkin saja mereka akan menyangka rekan kami tersebut bukan berasal dari daerah Sumatera Utara.
Entah mengapatebersit rasa iba, haru dan bercampur sedikit kecewa, manakala seorang pemimpin kami seusai pertemuan itu, memberitahukan tentang pengunduran diri rekan tersebut. Menurut informasi beliau, rekan kami telah memboyong sang istri dan putri kecil mereka untuk kembali ke kota asal istrinya. Padahal beberapa hari sebelumnya, rekan kami telah meminta saya untuk menghubungkan dia dengan sebuah institusi pendidikan, tempat saya dulu pernah mengajar sebelum kami aktif bertani jamur tiram (sejak sebelum Lebaran 2011 hingga sekarang).
Seiring kepergian keluarga muda itu, sudah terbayang bagaimana keadaan di kelas sekolah Minggu anak-anak kami. Si bungsu putri kecil kami (kebetulan seusia dengan putri mereka) praktis tidak lagi memiliki teman seusia di kelasnya. Setali tiga uang dengan dia, sang kakak (putra sulung kami) hingga sekarang adalah satu-satunya bocah lelaki di kelas itu. Dengan kata lain, kedua orang anak kami itu sebenarnya, sama-sama tidak kompatibel dengan keadaan kelas mereka.Di kelas itu, putra kami menghadapi tantangan kebutuhan spesifik dari setiap gender, sedangkan adiknya berhadapan dengan soal kesenjangan usia.
Namun sejauh ini, saya dan istri saya belajar untuk menyikapi setiap tantangan dari ladang perintisan sebagai harga yang pantas untuk dibayar. Sejak permulaan, kami berdua telah berkomitmen untuk melebur dan menyatu di sebuah cabang yang baru. Kami tidak tertarik untuk melirik gebyar kehidupan lain yang seolah-olah lebih menjanjikan, entah itu dari yang bertaburan fasilitas, dan/atau barangkali, yang berpotensi untuk memabukkan ego pribadi kami.
Kehidupan sementara di dunia ibarat perjalanan maju melalui tahap-tahapannya, dan sesekali dapat saja, diselang-selingi dengan lompatan-lompatan kecil ataupun besar─ itu bisa mengejutkan namun tetap menggairahkan. Apa pun senantiasa cukup bagi iman, maka bagian kami ialah memastikan diri kami beradadi ladang yang benar-benar dikehendaki oleh Tuhan. Jerih lelah bekerja dan melayanisejatinya tidak akan menyimpang jauh dari jalur kasih karunia. Di dalam kasih karunia, kami dapat berharap untuk tidak mengalami berada di bawah standar yang seharusnya, dan seyogianya juga tidak perlu jauh melampaui setiap ketentuan kasih karunia.
Keindahan mutumanikam lazimnya dihasilkan dari sentuhan kerja bercita rasa seni, dengan pengampelasan dan penggosokan bahan baku dasar berwujud bebatuan yang masih kasar. Sekiranya tanpa proses yang menyakitkan, tidak pernah dihasilkan butir-butir permata bercorak indah serta berkilauan. Demikian juga, sekiranya tanpa pernah mengalami keberhasilan melalui setiap cobaan, tidak satu pun karakter insan manusia yang dapat disempurnakan.
Saya tersinpirasi oleh Martin Luther King Jr. (1929-1968) yang pernah mengatakan, “Hidup adalah serangkaian pengalaman-pengalaman, bahwa setiap pengalaman itu dapat membuat kita lebih besar, meskipun kadang-kadang ada juga yang sulit untuk dimengerti. Agar dunia dapat dibangun kembangkanlah karakter, danseharusnya kita belajar bahwa kemunduran serta kepedihan yang mendera justru membantu kita untuk bergerak maju di dalam barisan kita.”
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H