Mohon tunggu...
Shamar Khora
Shamar Khora Mohon Tunggu... lainnya -

Referensi Pendamping, Inspiratif, Berimbang

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Tulislah Sebisa Mungkin!

5 Desember 2013   10:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:18 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Tujuh belas tahun sudah berlalu, sejak Bill Gates pendiri Microsoft, mempublikasikan esainya Content Is King (1 Maret 1996), kini kita melangkah bersama pertumbuhan media baru. Kehadiran media baru itu sendiri semakin memperluas akses masyarakat terhadap beragam jenis informasi. Bahkan, setiap warga masyarakat kini dapat berperan aktif sebagai warga pewarta.

Tetapi, apakah dengan perluasan jangkauan, yang menjadikan kita konsumen dan sekaligus produsen informasi, melalui media baru itu akan mampu bertahan cukup lamabahkan sesuai harapan kita, seyogianya akan terus berlangsung selama mungkin? Pernahkah terbayangkan, seandainya kompasioner yang biasanya dapat memposting tulisan mereka, tiba-tiba tidak dapat lagi beraktivitas seperti biasa sebagai kompasioner? Penyebabnya, entah mungkin karena seseorang oknum kompasioner sudah di”persona non grata”kan [seumur hidup dan secara permanen] oleh Admin, atau karena Kompasiana itu sendiri, sebagai bagian dari media baru, ternyata tidak mampu “berjaya” lagi di jagat blog sosial (ini yang paling tidak kita harapkan!).

Kompasioner sebagai warga Kompasiana, tentu saja, berkepentingan untuk ikut membesarkan blog sosial ini secara gotong royong. Jika Kompasiana ­terus bertumbuh membesar dan semakin berpengaruh, serta semakin diperhitungkan oleh pelbagai pihak (termasuk meningkat pula skala nilai ekonominya), bukan tidak mungkin kelak Kompasiana akan mengeluarkan “paketinsentif baru” untuk para kompasioner, sepanjang mereka dapat memenuhi Syarat dan Ketentuan Berlaku. Kompetisi ketat antar-pelaku media baru niscaya memotivasi pihak pengelola media baru untuk menerapkan jurus-jurus ampuh guna mempertahankan keunggulan media mereka.

Kita pun telah mengetahui bahwa kelahiran Kompasiana (dan saudara tuanya kompas.com) dimungkinkan berkat intuisi kreatif dari jurnalis visioner di media induknya, yakni yang bernaung di Harian Kompas. Dalam hal Kompasiana, kita mencatat bahwa Pepih Nugraha adalah sang jurnalis visioner, yang telah bersusah-payah membidani kelahiran Kompasiana. Dengan intuisi visioner Kang Pepih, Harian Kompas telah tercatat sebagai perintis blog sosial (dibedakan dari media sosial pertemanan milik Facebook dan Twitter) pertama di Indonesia: Kompasiana!

Berkat Kompasiana­-nya, Kompas mampu mempertahankan keunggulan komparatifnya sebagai perintis blog sosial yang dilekatkan pada sang induk. Di Indonesia, belum pernah ada mainstream media lain di luar Kompas, yang memiliki blog sosial semacam ini (sekali lagi, harus dibedakan dari sekadar media pertemanan karena sejatinya keduanya berbeda). Berapa lama Kompasiana tetap melenggang sendirian di jalur ini? Siapa tahu, kelak Harian Republika pun akan memunculkan Republikasiana sebagai pesaing Kompasiana? Atau Harian Seputar Indonesia meluncurkan Sindosiana; Tempo meluncurkan Temposiana; Pikiran Rakyat meluncurkan Jabaraya; Kedaulatan Rakyat meluncur Jogjanger; Jawa Pos meluncurkan Jatimer? Namun, sekiranya mainstream media utama lainnya itu berbondong-bondong meluncurkan pesaing Kompasiana, yang pasti mereka sudah tertinggal sekian langkah di belakang Kompasiana.

Di negeri tempat demokrasi kita belum bertumbuh cukup matang, karena banyak sekali tercoreng oleh maraknya budaya korup, politik transaksional, dan aksi-aksi (demo) massa destruktif, kehadiran Kompasiana sejatinya menyediakan saluran aspirasi yang sehat, konstruktif, dan efektif bagi seluruh anggota masyarakat. Menulis di Kompasiana jauh lebih bermanfaat, lebih murah, dan tampaknya lebih bermartabat dibanding menggelar aksi-aksi massa! Kita sudah sering melihat bahwa banyak aksi massa di pelbagai tempat cenderung destruktif. Ketidakmatangan emosi sebagian besar pelaku aksi massa manakala di bawah pengaruh psikologi massa mudah sekali mengobarkan amuk massa.

Di tengah satu bangsa dengan produktifitas nasional masih terbilang cukup rendah di kawasan Asia, sementara lapangan pekerjaan di sektor formal begitu terbatas, maka penggelaran aksi-aksi massa, sebenarnya dapat dilihat juga sebagai modus kepongahan penyaluran aspirasi yang “mewah”! Mengapa? Di sana ada upaya memaksakan kehendak diri sendiri dengan menyisihkan pilihan dialog secara berkeadaban. Banyak jam kerja efektif terbuang-buang begitu saja, dan banyak anggota masyarakat lain ikut terseret menjadi “kurban” karena aktivitas mereka terganggu, bahkan terhenti sama sekali. Berapa banyak dana, tenaga, serta waktu terhambur-hambur hanya untuk mengawal aksi-aksi massa dan/atau untuk memperbaiki kembali kerusakan pelbagai sarana fisik yang dihancurkan oleh massa? Bagaimana kita menilai kerugian akibat jatuhnya “korban” jiwa atau korban terluka? Tidaklah berlebihan untuk menyebut aksi-aksi massa semacam itu adalah “kemewahan” tatkala di tangan massa labil berjiwa kerdil dengan produktifitas masih terbilang rendah!

Namun, Kompasiana hadir sebagai tempat bernaung yang dapat mengayomi pelbagai perbedaan di antara kita. Di sini kita dapat bertukar pendapat secara dialogis, saling berbagi gagasan, dan memikirkan kepentingan bersama tanpa harus berbuat destruktif. Tulislah apa saja yang memuliakan keadaban kita sebisa mungkin, sembari kita bersilaturahmi dan merayakan perbedaan apa pun!

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun