Mohon tunggu...
Shamar Khora
Shamar Khora Mohon Tunggu... lainnya -

Referensi Pendamping, Inspiratif, Berimbang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Joko Widodo, [Presiden Terpilih] dari Kampus Biru

15 Juli 2014   17:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:17 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan presiden 2014 hampir pasti dimenangi oleh pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Beberapa lembaga survei nasional yang dikenal kredibel telah meneguhkan kemenangan tersebut sebagaimana diperlihatkan melalui hasil hitung cepat mereka.

Sebaliknya, empat buah lembaga survei lainnya terkesan memaksakan kemenangan kubu Prabowo-Hatta Rajasa. Namun, publik Indonesia niscaya akan sepakat bahwa keempat lembaga survei tersebut kemungkinan besar telah mempraktikkan kerja abal-abal! Sehingga, publik juga kelak berhak untuk “mengganjar” perbuatan mereka dengan pelbagai bentuk sanksi sosial. Meskipun demikian, sanksi pidana/perdatanya sendiri, tentu saja, tetap menjadi kewenangan jajaran penegak hukum.

Rakyat masih berhak mendesak mereka agar bertindak lebih profesional dan proaktif terhadap keempat lembaga survei tersebut. Termasuk terhadap para penyandang dana, pihak pemberi order tertuju Pilpres ini, dan/atau kalangan tertentu yang ditengarai telah berperan utama sebagai master mind mereka. Jikalau kelak terbukti unsur pidananya, niscaya itu menegaskan bahwa perbuatan mereka dapat membahayakan kesatuan bangsa Indonesia dan mencederai kehidupan demokrasi kita.

Pembentukan di kampus biru

Presiden terpilih Joko Widodo (versi hitung cepat lembaga-lembaga survei) telah dikenal luas sebagai pribadi yang bersahaja. Beliau adalah alumnus dari salah satu perguruan tinggi negeri tertua di Indonesia, yaitu persisnya dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Generasi angkatan tahun 1970-an mungkin masih menyimpan ingatan tentang sebuah film lawas berjudul “Cintaku di Kampus Biru”. Jika tidak salah ingat, film itu diangkat dari sebuah novel laris, entah karya Ashadi Siregar atau karya Mira W. (seingat saya judulnya sama seperti filmnya). Film itu dibintangi entah oleh aktor senior Roy Marten atau Junaedy Salat (?)—kebetulan saya kok lupa siapa aktor dan aktris pemerannya—salah seorang pemerannya sekarang adalah pendukung pasangan Capres-Cawapres Jokowi-JK.

Popularitas novel itu dan versi filmnya telah melambungkan nama besar UGM dengan sebutan “kampus biru”. Tetapi, seingat saya pribadi semasa saya masih kuliah di Yogya dahulu, saya tidak menemukan objek-objek tertentu di lingkungan kampus UGM dan di sekitarnya yang membuatnya tepat disebut kampus biru.

Saya memang bukan alumnus UGM karena saya menimba ilmu di sebuah perguruan tinggi swasta yang cukup tua. Persisnya, almamater saya dahulu adalah kolegasekota bagi UGM, dan merupakan sebagian peninggalan dari cendekiawan Katolik Prof.Nicolaus Drijarkara (kampus pusat kami dahulu di Mrican). Tetapi, di luar agenda akademis sehari-hari, pada saat itu saya bergiat di sebuah organisasi campus ministry, yang beranggotakan kalangan mahasiswa antar-kampus dan dari lintas perguruan tinggi (1985-1990) se-Kota Yogya.

Campus ministry kami sering beraktivitas di pelbagai area kampus UGM, mengingat kebanyakan Mas-mas dan Mbak-mbak (mentor) pembina kami adalah mahasiswa senior dari UGM. Sehingga, meskipun saya tidak berkuliah di sana, saya sangat sering ”blusukan” di sekitar Bulaksumur, Lembah, Skip, dan Gedung Pusat (Rektorat) UGM bersama-sama rekan-rekan seorganisasi. Kami meluangkan banyak waktu untuk mendiskusikan beragam materi pembinaan di dalam kelompok-kelompok kecil, sembari asyik menikmati embusan semilir angin di teras Gedung Pusat UGM, dan sembari asyikmenghabiskan camilan ringan ala mahasiswaberkantung cekak.

Ada kalanya kami juga menyempatkan diri bermain sepakbola, selain berjogging bersama secara teratur di lapangan dekat Gedung Rektorat. Record jogging saya pada saat itu baru sebatas mampu berlari 25 kali putaran mengelilingi lapangan tersebut (saya sudah lupa berapa catatan waktunya). Tentu saja, itu memang belum seberapa mengingat salah seorang mentor senior saya, setiap kali turun ke lapangan, si Abang itu (yang berasal dari daerah Kabanjahe) ternyata sudah mematok dirinya harus berlari sejauh 32 kali putaran mengelilingi lapangan tersebut!

Namun, aktivitas utama saya di kampus saya sendiri di Mrican dahulu memang hanya sebatas mengikuti perkuliahan dan mengerjakan tugas-tugas akademis lainnya. Di luar agenda wajib di Jurusan Fisika FPMIPA, saya mengikuti sebuah kegiatan ekstra kurikuler, yaitu program Dramaturgi (seingat saya, program ekskul itu non-SKS). Sehingga, entah mengapa ya, pada saat itu saya kok tertarik memilih ekskul seni peran tersebut ketimbang mengikuti Resimen Mahasiswa (Menwa), bela diri, seni musik dan seni tari, pecinta alam, atau unit kesehatan.

Asa revolusi mental

Sebagaimana diketahui, Presiden terpilih Joko Widodo sama sekali tidak kecipratan titisan “darah biru” dari trah penguasa manapun. Tetapi, beliau adalah produk otentik keluaran dari “kampus biru” UGM. Firasat saya mengatakan, presiden terpilih yang sangat merakyat itu—menurut keyakinan saya pribadi—kelak akan dikenal juga sebagai satu penanda terpenting sejak era Reformasi. Tampaknya, beliau telah mengawali kehadiran sebuah strain kepemimpinan baru di Indonesia.

Sekarang sudah bukan zamannya lagi model kepemimpinan aristokratis yang serba elitis. Rakyat benar-benar membutuhkan model kepemimpinan baru, yang cepat tanggap dalam menyerap aspirasi rakyat dan berjiwa egaliter. Niat utamanya ialah bekerja setulusnya dan sepenuhnya untuk melayani kepentingan rakyat. Sekarang bukan zamannya lagi sesuatu norma-norma, nilai-nilai, dan keutamaan apa pun hanya sekadar diceramahkan! Jokowi telah mempraktikkannya secara nyata dan terus-menerus dalam kadar konsistensi yang genuine. Pelbagai kebijakan beliau sudah cukup membuktikannya, sejak beliau menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan—atas perkenanan Tuhan—yang berikutnya kelak sebagai Presiden Republik Indonesia.

Terkait kepentingan pengertian ini, saya sebenarnya cukup risau terhadap Wakil Gubernur Jawa Barat yang sekarang. Sebagaimana “terbaca” dari salah satu sikap beliau, tampaknya beliau tidak cukup memahami tentang hakikat dan muruah seseorang menjadi abdi negara serta sebagai pelayan kepentingan publik. Sebaliknya, beliau justru begitu lihai ngeles setiap kali ada yang bertanya mengapa beliau masih aktif bermain sinetron dan masih menerima order untuk membintangi iklan komersial setelah berstatus wakil gubernur.

Dalam beberapa kesempatan, beliau atau stafnya cukup sering menanggapi bahwa aktivitas komersial itu konon tidak pernah sampai mengganggu pelaksanaan kewajiban beliau sebagai wakil kepala daerah. Apalagi cara ngelesnya itu disertai pernyataan semuanya dijamin halal karena tidak sedikitpun dikotori dosa korupsi, serta dilakukan hanya sebatas di luar hari kerja, semua diusahakan akan begini-begitu, dan demikianlah seterusnya.

Sebaliknya, sejak terpilihnya Presiden Joko Widodo kiranya akan mengembuskan inspirasi baru bagi bangsa Indonesia. Seorang rakyat biasa dengan bekal integritas dan kapabilitas berkadar mumpuni ternyata telah mendefinisikan kembali pengertian terpenting kita tentang hakikat kepemimpinan—nyaris hingga keseluruhan! Sehingga, bangsa Indonesia kini dapat dipersiapkansecara lebih baik untuk menyongsong masa depan, yang semoga akan lebih cerah di bawah kepemimpinan Presiden terpilih dari kampus biru.

***

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun