Mohon tunggu...
Shamar Khora
Shamar Khora Mohon Tunggu... lainnya -

Referensi Pendamping, Inspiratif, Berimbang

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Membayangkan Tampilan Perdana Majalah Kompasiana

3 Februari 2014   21:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:11 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendulang Asa Kompasiana (Bagian 2)

Ilustrasi: koleksi pribadi

Para kompasioner masih menunggu hari-H peluncuran majalah Kompasiana versi digital per Maret 2014. Bukan tak mungkin bahwa pasca-peluncuran majalah itu spontan akan disertai penambahan banyak kompasioner pendatang baru.

Seolah-olah sudah tidak sabar menunggu, sebagian kompasioner mungkin ada yang sempat mereka-reka kira-kira akan seperti apa tampilan pertama majalah Kompasiana tersebut? Apalagi, entah karena kebetulan atau memang disengaja, ternyata Facebook juga bermaksud untuk meluncurkan Paper mereka!

Tentu saja, format Paper Facebook dan majalah Kompasiana pasti berbeda. Namun, tatkala si pendulang asa ini mencermati konsep Paper milik raksasa pertemanan itu, sebagaimana yang terbaca di pemberitaan media massa, sebenarnya esensinya tidak jauh berbeda dari Kompasiana versi website. Dengan demikian, kehadiran Kompasiana versi web (atau sebut saja Kompasiana format reguler) ternyata sudah sekian langkah mendahului Paper milik Facebook.

Bahkan sekarang, Kompasiana sudah bersiap-siap untuk menapaki perkembangan baru ke tahapan selanjutnya, yang diawali dengan peluncuran majalah Kompasiana versi digitalmudah-mudahan akan segera disusul versi cetaknya.

Bayang-bayang pertama

Konseptor konten dan tim design majalah Kompasiana kini tengah serius bekerja menyiapkan purwarupa edisi perdana majalah yang kita nanti-nantikan bersama. Mereka pasti memiliki preferensi tersendiri untuk mewujudkan sebuah majalah baru berkarakter khas Kompasiana.

Banyak konsep dan design majalah-majalah lain mungkin sempat juga dijadikan sebagai pembanding, entah terbitan yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, baik versi cetak ataupun versi digital. Saya dan siapa pun tidak bermaksud untuk merecoki pekerjaan mereka. Para kreator majalah Kompasiana itu adalah kaum profesional di bidang masing-masing.

Kadang-kadang, bagi si pendulang asa dan sekaligus petani kecil seperti saya, manakala mengamat-amati konsep beberapa majalah lain (lihat ilustrasi di atas) tercetus suatu keisengan untuk bersikap sok tahu. Barangkali, dengan keisengan itu mungkin saja saya dapat sedikit membayangkan bagaimana tampilan perdana majalah Kompasiana (perhatikan, bayang-bayang rekaan saya bisa saja sama sekali meleset!). Namun, siapa tahu majalah baru kita merupakan perpaduan terbaik dari beberapa majalah di atas (atau perpaduan dari majalah-majalah lain di luar ilustrasi tersebut)?

1391437297157877566
1391437297157877566

Ilustrasi: koleksi pribadi

Membaca cerita sampul

Setiap terbitan majalah lazimnya dibingkai dengan “cerita sampul”. Sebagai contoh, majalah MataBaca edisi November 2005 mengangkat cerita sampul bertajuk “Nggak Zamannya Lagi, Penulis Miskin”. Sosok penulis mapan Imelda Akmal ditampilkan sebagai ilustrasi di sampul depan. MataBaca menempatkan cerita sampul mereka di kolom Gagas Utama, yang berisi artikel “Nggak Zamannya Lagi, Penulis Miskin” (hal 6), “Gaji Setahun Manajer Profesional” (hal 9), “Menulis Membuat Saya Punya ‘Segalanya’” (hal 11), “Penulis Harus Pikirkan Pasar” (hal 12), dan “Populer dan Kaya Raya dengan Menulis” (hal 14).

Pada MataBaca edisi Januari 2006, wajah ayu Rieke Diah Pitaloka menghiasi sampul depan yang bertajuk “Cantik-cantik Bikin Puisi” (artikel hal 6). Untuk konteks majalah Kompasiana, barangkali mitra Kompasioner sudah dapat membayangkan kira-kira siapakah calon kuat untuk nangkring di sampul depannya, misalnya manakala Kompasiana bermaksud mengangkat tema seputar “Mahkluk-makhluk Elok dan Rupawan di Jagat Kompasiana”.

Bagi si pendulang asa ini, yang kebetulan tidak termasuk golongan camera face, tentu saja tidak pernah berharap dapat tampil di sampul depan itu.

National Geographic menempatkan foto Presiden Soekarno (di ruang kerja tahun 1955) pada sampul depan, tatkala mereka mengangkat cerita sampul “Raksasa Muda Catatan 1955, Indonesia berjuang untuk maju” (artikel di hal 22). Untuk konteks di majalah Kompasiana, si pendulang asa ini dan mitra kompasioner barangkali sudah dapat membayangkan profil sesosok pria ganteng, pintar, mapan, dan matang duren! Silakan tebak sendiri, siapakah beliau?

Akhirnya, si pendulang asa ini masih bertanya-tanya tentang makna kata-kata Kang Pepih Nugraha, bahwa “kemungkinan namanya Kompasiana 360 atau Kompasiana Three Sixty” di artikel HL yang ditulis oleh Bang Isjet. Apakah itu bermakna majalah Kompasiana kelak akan berbeda sama sekali (hingga 360 derajat) dari majalah-majalah yang sudah ada sekarang, ataukah penerbitannya setebal 360 halaman? Sekiranya benar 360 halaman, itu pasti terbilang gendut untuk ukuran sebuah majalah baru, yang lazimnya setebal 60 sampai 180 halaman.

Apakah angka 360 itu mungkin bermakna suatu keutuhan, totalitas bulat, dan ketuntasan dari setiap sudut pandang yang bercirikan jurnalisme warga Kompasiana? Ataukah angka 360 itu bermakna majalah didesain berformat 3 kolom dan berisi 60 tulisan?

Sayang sekali, hingga sejauh ini si pendulang asa baru sebatas menebak-nebak saja! Mitra kompasioner mungkin ada yang mempunyai penjelasan lain yang lebih akurat?

***

Artikel Terkait:

Mendulang Asa Kompasiana

Kompasiana Freez Berubah Wujud Menjadi Majalah Digital

Facebook Siapkan Aplikasi Koran Digital

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun