Mohon tunggu...
Shamar Khora
Shamar Khora Mohon Tunggu... lainnya -

Referensi Pendamping, Inspiratif, Berimbang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jelang Penentuan Terakhir

5 Juli 2014   18:59 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:21 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kemitraan Gotong-Royong” Vs “Koalisi Super-Tambun”

Beberapa hari menjelang penentuan terakhir Pilpres 2014, kebanyakan lembaga survei independen tetap mengunggulkan kemenangan pasangan “Kemitraan Gotong-Royong” (KGR) Joko Widodo-Jusuf Kalla atas pasangan “Koalisi Super-Tambun” (KST) Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Menyadari keunggulan pihak kompetitor dalam hal-hal yang sangat prinsipal, maka seorang anggota Timses KST pun—berasal dari sebuah partai yang pernah tersandung kasus mafia sapi impor—segera meluncurkan jurus serangan sekenanya berupa sebuah kicauan jahil. Penggunaan kata “sinting” itu pun tampak disengaja oleh penulisnya. Bung Fakhry pasti sudah menghitung aspek untung-ruginya.

Sementara itu, serangan upas (= bisa) keji terdahulu berupa fitnah tabloid Obor Rakyat belum berakhir. Pada mulanya, jajaran penegak hukum terkesan bersikap gamang dan/atau agak enggan untuk bertindak lebih profesional. Sehingga, jikalau meminjam konsepsi “Revolusi Mental” milik KGR, maka perubahan total mentalitas, etika, dan etos bekerja pertama-tama, harus menyasar terlebih dahulu ke jajaran penegak hukum dan birokrasi pemerintahan di seluruh Tanah Air!

Para abdi Negara seharusnya sungguh-sungguh menjadi pelayan rakyat. Tak boleh terbuka peluang mereka tidak steril dari kepentingan terselubung, semisal membela kepentingan pihak penguasa dan jejaring tentakelnya (kondisi itulah yang dahulu marak pada masa Orde Baru). Sebaliknya, abdi Negara era Reformasi seyogianya lebih fokus pada ketulusan pengabdian. Sehingga, kebanggaan utama mereka justru manakala berhasil mewujudkan kebajikan tertinggi (summum bonum) bagi seluruh warganegara.

Tengoklah sebuah peristiwa cukup memalukan melalui tayangan berita TV, bahwa seseorang dalam kapasitasnya sebagai Walikota Kendari, tanpa malu-malu atau merasa sungkan begitu yakinnya membagi-bagikan “uang panas” (konon ada indikasi berasal dari dana APBD!) sembari berpesan agar para penerima memilih pasangan capres-cawapres tertentu (disertai pemberian kaos bergambar pasangan tersebut). Oleh sebab itu, entah sebelum atau sesudah Pilpres berakhir, seyogianya Panwaslu, BPK, Kejaksaan, dan/atau KPK bersiap-siap mengusut tuntas indikasi penyalahgunaan kekuasaan tersebut.

Beberapa hari sebelumnya, Jenderal TNI (Purn.) Wiranto akhirnya tidak terbukti berkampanye hitam sebagaimana tuduhan kubu KST. Beliau secara ksatria telah memenuhi undangan Panwaslu untuk mengklarifikasi beberapa pernyataan beliau, semisal tentang pemberhentian Letnan Jenderal TNI Prabowo Subianto (PS) pada posisi jabatan terakhir yang bersangkutan (ybs) di kemiliteran (Komandan Sekolah Staf Komando ABRI). Sebagai mantan atasan PS dan sesuai permintaan ybs sendiri dalam debat capres-cawapres sebelumnya, maka beliau berbicara menyampaikan fakta yang sebenarnya. Keterangan beliau sama seperti substansi isi rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira TNI AD dan mengacu keputusan Presiden B.J. Habibie. Namun patut dicermati, pemberhentian PS terkait dengan peranan ybs pada beberapa jabatan penting sebelumnya, semisal sebagai Komandan Kopassus (1995-1996), Danjen Kopassus (1996-1998), dan Pangkostrad (1998).

Sebagaimana kita ketahui, Pilpres 2014 terbilang istimewa karena sejak pemilihan presiden dilakukan secara langsung, untuk pertama kalinya hanya memunculkan dua pasangan capres-cawapres. Pengusungan capres-cawapres kubu KGR mencerminkan kehendak umum dari mayoritas rakyat Indonesia. Tokoh Jokowi dan Jusuf Kalla keduanya sama-sama bukan Ketua Umum dari partai politik mana pun. Bahkan, keduanya tidak memiliki jabatan formal apa pun di struktur partai masing-masing. Sebaliknya, pasangan capres-cawapres kubu KST de facto merupakan hasil kompromi dari segelintir elite politisi, yang berkuasa dalam sekumpulan besar parpol-parpol Koalisi Super-Tambun!

Semakin mendekati hari-H Pilpres, kedatangan Allan Nairn di Indonesia (jurnalis investigasi independen dari Amerika Serikat) termasuk ikut menyemarakkan suasana kompetisi demokrasi terbesar se-Asia Tenggara. Sayang sekali pihak Capres Prabowo masih enggan untuk menanggapi atau mungkin sengaja menghindari permintaan dikonfrontasikan secara langsung dengan Nairn. Beberapa anggota Timses KST memang telah meresponi Nairn secara reaktif.

Sebenarnya, jauh-jauh hari sebelum kedatangan Allan Nairn pun, banyak pihak dari pelbagai kalangan telah menyadari bahwa Indonesia memerlukan pembentukan sejenis Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Hingga sekarang, tidak satu pun pemerintahan era Reformasi (termasuk pemerintahan petahana yang sekarang) cukup punya nyali atau bersedia untuk bertindak serius menyelesaikan secara tuntas pelbagai tragedi pelanggaran kemanusiaan di Indonesia, khususnya yang terjadi pada masa menjelang kejatuhan Orde Baru hingga sepanjang era Reformasi.

Selamat memilih, Indonesia. Salam dua jari!

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun