Mohon tunggu...
Shalom Gabriela Imanuel
Shalom Gabriela Imanuel Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Mencari keadilan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kritik Putusan PTUN Mengenai Gugatan Anwar Usman

28 September 2024   22:09 Diperbarui: 29 September 2024   01:42 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Rabu, 14 Agustus 2024 Indonesia kembali digemparkan oleh adik ipar Jokowi, Anwar Usman. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan sebagian gugatan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu yang teregistrasi pada Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT. PTUN Jakarta membatalkan dan menyatakan pengangkatan Suhartoyo sebagai ketua MK periode 2023-2028 tidaklah sah, dan memulihkan harkat dan martabat Anwar Usman sebagai hakim. Meskipun gugatan Anwar Usman untuk dikembalikan menjadi Ketua MK dan meminta MK membayar uang paksa sebesar Rp100 per hari apabila MK lalai dalam melaksanakan putusan ini ditolak. Namun tetap saja putusan ini menabur benih keraguan. Putusan itu menimbulkan pertanyaan serius tentang batas kewenangan PTUN dalam mencampuri urusan internal MK.

Pertama, putusan PTUN mengenai pembatalan Suhartoyo sebagai ketua MK, tanpa mengembalikan Anwar Usman sebagai ketua MK, merupakan putusan yang ambigu dan tidak jelas. Bagaimana tidak, pengangkatan Suhartoyo sebagai ketua MK merupakan respon yang dilakukan oleh internal MK setelah Anwar Usman dicopot dari jabatannya oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) karena terbukti melanggar kode etik atas Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, yang menjadi karpet merah bagi keponakannya Gibran Rakabuming Raka melenggang dalam pemilihan presiden dan wakil presiden pada febuari lalu. Sehingga tidaklah masuk akal ketika respon dari suatu putusan malah ikut digugat. Hal ini menjadi sebuah pertanda bahwasanya PTUN ingin mengintervensi urusan internal MK tanpa bisa menghadirkan Solusi yang solutif.

Kedua, putusan PTUN yang mengembalikan harkat dan martabat Anwar Usman sebagai seorang hakim setelah terbukti melakukan pelanggaran kode etik menempatkan posisi MKMK sebagai Lembaga Tinggi Negara yang berwenang mengadili pelanggaran etik hakim konstitusi menjadi dipertanyakan kredibilitasnya.

Ketiga, bagaimana mungkin PTUN bisa mengoreksi putusan lembaga yang bukan merupakan badan tata usaha negara? Maka melalui putusan ini PTUN Jakarta telah mengambil sikap yang tidak konsisten. Sebab berdasarkan pasal 1 angka 3 dan pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 bahwa Obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan tata usaha negara. Sedangkan keputusan tata usaha negara menurut UU nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi pemerintahan pada pasal 1 angka 7 adalah "Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan." Sedangkan hakim Konstitusi bukanlah pejabat pemerintahan melainkan Pejabat Negara, yang mana hal itu telah dinyatakan dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.  

Sebab ada perbedaan mendasar mengenai pejabat pemerintahan dan pejabat negara. Merujuk pada teori C.F Strong maka pejabat negara adalah pimpinan dan anggota dari lembaga kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial. Sedangkan pejabat pemerintahan merupakan pimpinan dan anggota yang terbatas pada kekuasaan eksekutif saja.

Oleh karena itu maka putusan MKMK mencopot Anwar Usman serta putusan internal MK mengangkat Suhartoyo sebagai ketua MK bukanlah diketagorikan sebagai putusan yang dikeluarkan oleh badan tata usaha negara sebab hakim MKMK maupun hakim MK bukanlah pejabat pemerintahan melainkan pejabat negara.

Maka, sejatinya  sedari awal gugatan Anwar Usman bisa diterima oleh PTUN Jakarta menjadi tanda tanya besar, dan membuktikan bahwasanya PTUN Jakarta ingin campur tangan dan mengintervensi internal Mahkamah Konstitusi.

Pun dari putusan ini juga Masyarakat bisa menilai dan menyadari kelemehan system hukum di Indonesia. PTUN seharusnya mengurusi perkara administrasi yang melibatkan badan tata usaha negara, bukan mencampuri urusan lembaga peradilan lain. Namun apabila kita menarik benang merah pada banyaknya kontroversi yang dilakukan oleh keluarga Jokowi maka tidak heran apabila 'cawe-cawe' ini sering terjadi. Namun yang menjadi pertanyaannya adalah sampai kapan negeri ini akan terus begini?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun