Musibah hilangnya pesawat ATR 42 dengan nomor penerbangan IL-457 milik Trigana Air tujuan Oksibil, Papua Barat telah menambah daftar insiden keselamatan transportasi yang menjadi perhatian kita bersama.
Dalam berita yang dirilis Kompascom, disebutkan bahwa penerbangan Jayapura ke Oksibil, Kabupaten Pegunungan Bintang telah hilang kontak sekitar pukul 15.00 WIT setelah lepas landas dari Bandara Sentani pada hari Minggu, 16 Agustus 2015. Hingga saat ini, upaya evakuasi terus dilakukan untuk memastikan kondisi terakhir pesawat yang membawa 54 penumpang dan kru itu.
Kecelakaan pesawat memang kejadian di luar kuasa manusia. Namun ada banyak hal yang bisa manusia lakukan untuk menekan kemungkinan terjadinya hal terburuk. Dalam kasus ini, saya ingin menggarisbawahi pentingnya Trigana Air memperbaiki layanan penerbangan agar sesuai standar keselamatan.
Saat kasus AirAsia QZ8501 mencuat beberapa waktu lalu, saya sempat diminta pendapat oleh wartawan sebuah surat kabar mengenai rencana pemerintah melakukan pengetatan pengawasan layanan low cost carrier (LCC). Saat itu saya bilang, pemerintah sebaiknya memperketat pengawasan bukan hanya untuk LCC namun juga bagi penerbangan semacam Trigana Air.
Pendapat tersebut berdasarkan pengalaman ketika saya menggunakan layanan maskapai segmen medium cost itu untuk perjalanan Ambon-Saumlaki di akhir Oktober 2014. Waktu itu, saya mendapatkan layanan yang sama sekali berbeda dengan yang biasa diberikan oleh maskapai lain, bahkan dibandingkan maskapai yang sering bermasalah delay seperti Lion Air.
Ketika itu, saya dalam perjalanan dinas dari kantor Indonesia Mengajar di Jakarta ke lokasi penempatan kami di Saumlaki, Maluku Tenggara Barat. Setelah transit beberapa jam di Bandara Pattimura, Ambon saya membawa bukti pemesanan yang sudah dicetak sebelumnya ke check in counter Trigana di area keberangkatan. Wanita tidak berseragam yang berjaga di counter tampak kebingungan menerima bukti pemesanan saya, kemudian dia mengajak saya mengecek ke orang yang saya asumsikan adalah atasannya di ruangan tim Trigana, letaknya di salah satu bilik berkaca gelap seberang counter.
Setelah melihat bukti cetak, orang di ruangan tersebut mengiyakan bahwa saya memang benar penumpang penerbangan ke Saumlaki. Kemudian wanita tadi membawa saya kembali ke check in counter dan memberikan tiket jadi atas nama saya dalam tulisan tangan. Karena tidak ada keterangan nomor tempat duduk, saya bertanya kepada wanita tersebut. Jawabnya, "Nanti saja." Saya pun dipersilakan menuju di ruang tunggu.
[caption caption="Tiket Trigana untuk penerbangan saya ke Saumlaki. Ditulis tangan dan tanpa nomor tempat duduk."][/caption]
Ternyata keanehan tidak berhenti sampai di sana. Coba Anda perhatikan tahapan apa yang tidak saya lakukan dibandingkan proses check in pada umumnya? Ya, betul. Sepanjang proses check in, wanita tadi tidak meminta tanda pengenal sebagai alat validasi identitas penumpang. Karena agak kaget dengan seluruh proses yang tidak standar ini, saya pun lupa menanyakan hal itu dan baru sadar ketika sampai ruang tunggu.
Di ruang tunggu pun saya tidak berhenti kebingungan. Nama penerbangan yang digawangi Trigana tidak tertera di papan elektronik yang memuat kedatangan dan keberangkatan pesawat. Ketika lebih dari 1 jam belum ada kabar keberangkatan maupun delay, saya bertanya kepada petugas dan katanya akan berangkat sebentar lagi.
Sekitar 15 menit kemudian, wanita dari check in counter berjalan ke arah gerbang 1 keberangkatan. Dia membuka pintu yang mengarah ke landasan pacu lalu memanggil agak keras berkali-kali ke seantero ruang tunggu, "TRIGANA TUJUAN SAUMLAKI SILAKAN NAIK!" Lagi-lagi saya kaget. Baru kali ini saya naik pesawat yang model boarding-nya dengan dipanggil manual seperti itu.