Â
Era Orde Baru yakni pada kurun waktu 1966-1998 merupakan salah satu periode yang dapat dikatakan signifikan dalam sejarah Indonesia modern yang di mana ditandai dengan adanya upaya pemerintah untuk menciptakan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Konsep stabilitas dan pemerataan di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto bukan lah hal tabu, melainkan sudah menjadi pilar utama fokus pemerintah saat itu dalam pembangunan nasional. Pemerintah juga menekankan pentingnya stabilitas sebagai prasyarat guna mencapai kemajuan ekonomi dan memobilisasi kebijakan pemerataan untuk menimalisir ketimpangan sosial yang mulai mencuat pada masa itu.
Namun, adanya pelaksanaan kedua prinsip tersebut tidak terlepas dari peran media massa sebagai salah satu alat kontrol sosial dan propaganda saat itu. Media massa di era Orde Baru berada dalam pengawasan yang ketat dari pemerintah dengan melalui regulasi yang membatasi kebebasan pers. Pemberitaan media sering kali menggambarkan keberhasilan pemerintah dalam menciptakan stabilitas dan pemerataan, tetapi jarang mengangkat masalah-masalah struktural yang tersembunyi dibalik retorika pembangunan yang ada. Hal itu pun mengakibatkan munculnya narasi yang bias yang di mana membingkai stabilitas dan pemerataan sebagai bentuk keberhasilan yang mutlak, meskipun kenyataannya diwarnai oleh berbagai permasalahan yang kerap tidak dimunculkan ke publik.
Adanya pengawasan terhadap media yang ketat membuat beberapa jurnalis dan penerbit secara kreatif menggunakan bahasa terselubung untuk menyampaikan kritik. Liputan yang dilakukan pun di antaranya tentang masalah sosial seperti kemiskinan, ketimpangan ekonomi, atau ketidakadilan hukum yang sering kali turut dihadirkan secara implisit melalui repotase human interest atau opini yang terkesan netral. Beberapa media tersebut di antaranya seperti Tempo dan Kompas, yang di mana dikenal dengan narasi yang kritis dan membuat media tersebut pernah berhadapan dengan ancaman pencabutan SIUPP. Adanya hal itu menunjukkan bahwa sekalipun pemerintah berusaha mengontrol sepenuhnya, akan tetap ada celah untuk mengekspresikan ketidakpuasaan itu, terutama bagi pembaca yang peka terhadap makna di balik berita.
Stabilitas sebagai Ideologi Pemerintahan Orde BaruÂ
Setelah peristiwa G30S/PKI tahun 1965, Orde Baru muncul sebagai respons terhadap krisis politik dan ekonomi saat itu yang mengancam ketidakstabilan dan keberlangsungan negara. Stabilitas nasional saat itu dijadikan sebagai prioritas utama untuk menghindari kekacauan lebih lanjut. Di bawah kepemimpinan Soeharto, pemerintah membangun narasi bahwa stabilitas adalah prasyarat utama untuk melaksanakan pembangunan nasional. Narasi tersebut kemudian diperkuat dengan konsep dwi fungsi ABRI yang memberikan peran ganda kepada militer dalam menjaga keamanan dan mengelola pemerintahan.
Dalam hal ini, media massa digunakan untuk memperkuat legitimasi pemerintah. Pemberitaan sering kali difokuskan pada keberhasilan program pembangunan seperti Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dan berbagai proyek infrastruktur. Selain itu, media juga kerap diarahkan untuk meredam suara kritis yang berpotensi menganggu stabilitas politik. Hal ini kemudian menunjukkan bahwa stabilitas tidak hanya menjadi ideologi pemerintahan tetapi juga menjadi narasi utama dalam pemberitaan media massa itu sendiri.
Kontrol terhadap Media MassaÂ
Untuk memastikan bahwa media massa tetap sejalan dengan kepentingan pemerintah Orde Baru, diterapkannya kontrol yang ketat terhadap pers. Melalui Departemen Penerangan, pemerintah mengatur perizinan penerbitan media yang dapat dicabut sewaktu-waktu jika media tersebut dianggap menyebarkan berita yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Contoh nyata dari kebijakan ini adalah pembredelan yang pernah terjadi pada beberapa surat kabar seperti Tempo, Detik, dan Editor pada tahun 1994 yang dianggap terlalu kritis terhadap pemerintah.
Adanya kebijakan tersebut membuat sebagian besar berita menciptakan situasi pemberitaan yang sama yang di mana narasi stabilitas dan pemerataan selalu mendapatkan tempat utama. Selain itu, kritik terhadap kebijakan pemerintah terutama yang berkaitan dengan kesenjangan sosial dan pelanggaran hak asasi manusia, jarang mendapatkan ruang di media massa arus utama. Hal itu berdampak pada masyarakat yang hanya menerima informasi yang telah disaring dan dikemas sesuai dengan kepentingan pemerintah.
Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pers pada masa itu menjadikan pembangunan, pemerataan, dan stabilitas sebagai tajuk utama pemberitaan mereka dikarenakan memang adanya kontrol terhadap kebijakan pemerintah yakni Repelita dan Trilogi Pembangunan. Stabilitas politik dan keamanan pada masa itu dianggap sebagai prasyarat utama dalam mendukung keberhasilan pembangunan dan dengan melibatkan pers guna menjaga narasi pemberitaan yang dianggap dapat memicu keresahan masyarakat. Selain itu, adanya kontrol ketat dari pemerintah melalui Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) membuat media terpaksa harus mematuhi peraturan kebijakan yang dibuat pemerintah agar dapat terus beroperasi dengan kata lain menghindari pembredelan media massa. Hal itu kemungkinan besar akan membuat pers hanya sekedar menjadi tangan pemerintah untuk menjaga stabilitas dan mendukung narasi kebijakan pembangunan nasional dengan kata lain tidak bisa berjalan semestinya yaitu dengan bersikap independen dan objektif.