Mohon tunggu...
Shalahudin Afif N
Shalahudin Afif N Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA

Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta, Fakultas Syariah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kajian Kasus Fintech Syariah Ilegal: Perspektif Hukum Ekonomi Syariah

2 Oktober 2024   20:30 Diperbarui: 2 Oktober 2024   22:44 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kajian Kasus Fintech Syariah Ilegal :Dari Perspektif Hukum Ekonomi Syariah

Salah satu permasalahan yang menjadi perhatian dalam dunia Hukum Ekonomi Syariah saat ini adalah maraknya fintech syariah ilegal yang beroperasi tanpa mendapatkan izin resmi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Meskipun fintech berbasis syariah diharapkan mampu menyediakan layanan keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, kemunculan fintech ilegal malah membawa dampak negatif bagi konsumen. Banyak masyarakat yang terjebak dalam transaksi yang tidak jelas, yang pada akhirnya merugikan baik secara finansial maupun moral. Artikel ini akan menguraikan masalah fintech syariah ilegal dari berbagai perspektif, mulai dari kaidah hukum, norma hukum, aturan hukum, hingga analisis dari sudut pandang positivisme hukum dan sociological jurisprudence.

1. Kaidah Hukum yang Berlaku dalam Kasus Fintech Syariah Ilegal

Dalam Hukum Ekonomi Syariah, terdapat sejumlah kaidah yang relevan dengan masalah fintech syariah ilegal. Salah satu kaidah yang penting adalah maslahah, yang menekankan pentingnya setiap transaksi dalam keuangan syariah membawa manfaat dan menghindarkan kerugian bagi masyarakat. Fintech ilegal seringkali bertentangan dengan kaidah ini karena operasionalnya yang tidak diatur dapat merugikan konsumen. Selain itu, kaidah al-gharar, yang melarang adanya ketidakpastian berlebih dalam transaksi, juga sangat relevan karena banyak fintech ilegal yang beroperasi tanpa transparansi. Kaidah lain seperti dharar dan la dharar wa la dhirar yang menekankan untuk menghindari bahaya dan kerugian timbal balik juga penting dalam menilai praktik fintech syariah ilegal.

2. Norma Hukum dalam Kasus Fintech Syariah Ilegal

Norma hukum yang berkaitan dengan fintech syariah ilegal menekankan pentingnya perlindungan konsumen. Norma perlindungan konsumen mengharuskan bahwa setiap layanan keuangan harus dilakukan secara transparan, adil, dan tidak menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang terlibat. Dalam praktiknya, fintech ilegal sering melanggar norma ini karena ketidakjelasan operasional yang mengabaikan prinsip keuangan syariah. Norma keadilan dan akuntabilitas juga menjadi landasan penting yang mengharuskan setiap penyedia layanan keuangan bertanggung jawab atas tindakan mereka, baik secara hukum maupun sesuai dengan prinsip syariah.

3. Aturan Hukum dalam Kasus Fintech Syariah Ilegal

Terdapat sejumlah aturan hukum yang mengatur fintech syariah di Indonesia. Salah satu regulasi utama adalah Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 yang mengatur layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi, yang mewajibkan perusahaan fintech untuk memiliki izin resmi. Fintech syariah ilegal yang beroperasi tanpa izin jelas melanggar aturan ini. Selain itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga menjadi dasar hukum untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat praktik keuangan yang tidak bertanggung jawab. Fatwa DSN-MUI terkait produk keuangan syariah juga harus diikuti oleh semua fintech syariah untuk memastikan mereka mematuhi prinsip-prinsip syariah seperti menghindari riba, gharar, dan maysir.

4. Perspektif Positivisme Hukum terhadap Fintech Syariah Ilegal

Dari sudut pandang positivisme hukum, fintech syariah ilegal merupakan pelanggaran terhadap hukum yang berlaku. Aliran ini menekankan bahwa hukum yang tertulis harus ditegakkan tanpa pengecualian. Oleh karena itu, fintech yang beroperasi tanpa izin dari OJK atau melanggar aturan syariah harus dikenai sanksi yang tegas sesuai dengan peraturan yang berlaku. Positivisme hukum melihat pentingnya aspek legalitas dan menilai bahwa hukum harus dipatuhi tanpa memandang aspek sosial atau moral di luar aturan yang ada.

5. Perspektif Sociological Jurisprudence dalam Kasus Fintech Syariah Ilegal

Sementara itu, sociological jurisprudence melihat hukum sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar aturan tertulis. Aliran ini mempertimbangkan dampak sosial dari keberadaan fintech syariah ilegal. Fintech ilegal dianggap menciptakan ketidakadilan sosial karena tidak ada pengawasan yang memadai terhadap transaksi yang terjadi, sehingga konsumen menjadi korban. Menurut aliran ini, hukum harus berfungsi untuk melindungi kepentingan sosial dan mencegah praktik keuangan yang berbahaya bagi masyarakat. Solusi terhadap fintech syariah ilegal tidak hanya terletak pada penegakan hukum formal, tetapi juga pada pengaturan yang lebih adil dan berfokus pada kesejahteraan masyarakat.

Kesimpulannya, fintech syariah ilegal merupakan masalah yang kompleks dan memerlukan pendekatan yang komprehensif dalam penanganannya. Kaidah dan norma hukum syariah, serta aturan hukum formal, harus ditegakkan untuk melindungi konsumen. Analisis dari perspektif positivisme hukum dan sociological jurisprudence menunjukkan bahwa pendekatan legal dan sosial sama-sama diperlukan untuk menyelesaikan masalah ini dengan adil.

sumber kasus e: https://finance.detik.com/moneter/d-7187948/jurus-bank-syariah-hadapi-tantangan-ekonomi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun