Dalam polemic putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/ PUU-XXI/2023 kasus ini berfokus pada perubahan syarat calon presiden dan wakil preside di Indonesia, dimana usia minimal 40 tahun ditambahkan dengan kriteria baru yaitu pernah atau sedang menjabat posisi yang dipilih melalui pemilu. Perubahan ini memungkinkan Gibran selaku anak Presiden JokoWidodo yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Surakarta memiliki peluang maju untuk menjadi calon wakil presiden mendampingan Prabiwo pada 2024.
Arief selaku hakim Konstotusi mengatakan bahwasanya berlakunya syarat pencalonan presiden dan wakil presiden ini tidak ada intervertasi Presiden Joko Widodo, "sebagaimana pertimbanganatas pitisan MK Nomo 90 Tahun 2023 syarat yang diberlakukan oleh pasal 169 ayat (1) huruh q Undang-Undang Pemilu adalah sebagaimana yang tekag dinyatakan oleh Mahkamah dalam putusan a quo" ucap arief. Arief melanjutkan dalam konteks sengketa hasil pemilu persoalan yang dapat didalilkan bukan lagi mengenai keabsahan atau konstitusional syarat calon namun keterpenuhan syarat pasangan calon peserta pemilu.
Keputusan ini mendapat kritik pedas dari pakar hukum seperti Prof. Denny Indrayana dari Universitas Gajah Mada (UGM) yang menilai bahwa putusan MK terlalu positivistic. Menurut mereka hukum yang hanya berlandaskan teks tanpa mempertimbangkan keadilan substansif akan sulit mencapai keadilan sejat. Oleh karena itu pendekatan hukum progesif disarankan untuk diterapkan lebih fleksibel dalam mengakomodasi keadilan berdasarkan konteks sosial dan moral.
Mahdzab Hukum Positivisme
Pada kasus ini pandangan mahdzab hukum positivisme yakni dilaukan sesuai dengan putusan hakim Mahkamah konstitusi yang beranggapan bahwa keputusan MK ini mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Hal ini dikarenakan sepenuhnya anggota MK setuju dan mendukung adanya perubahan batasan usia bagi calon presiden dan wakil presiden menjadi 30 tahun. Meskipun banyak pertentangan namun mereka mengambil sisi positif secara objektif dengan menganggungkan hukum tertulis yang telah ada dan pengambilan keputusan dilakukan secara objektif karena banyak pihak yang menyetujui adanya perubahan batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden. Hingga keputusan final yang diambil dari mahdzab hukum positivism yakni berkeyakinan dengan cara pandang bahwa perintah yang tertulis adalah perintah yang harus diikuti dan berdaulat sehimgga pada pembentukan hukum keputusan ini berpacu dengan dampak positif yang memberikan kesempatan pada anak muda untuk ikut andil menjadi calon presiden dan wakil presiden tanpa memperdulikannilai moral keadilan dan etika.
Argumen Tentang Mahdzab Hukum Positivisme dalam hukum di Indonesia
Argument pribadi saya terhadap adanya mahdzab hukum positivisme di Indonesia memang cukup membantu akan ketaatan setiap penegak hikum dalam memutuskan suatu perkara atau hukuman bagi para pelaku tindak kejahatan sesuai dengan hukum yang telah tertulis. Namun meskipun demikian dengan cara pandang yang objektif saya pribadi merasa kurang ada pertimbangan secara matang terhadap setiap putusan hukum melalui mahdzab hukum positivism. Perubahan keputusan yang mendadak serta kontoversional, dan banyaknya protes dari masyarakat berilmu serta mahasiswa unggul di Indonesia harusnya dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pemutusan kasus diatas. Namun keputusan mutlak tetap berada pada orang yang mempunyai kuasa atas hukum tanpa menimbang baik buruk dan suara masyarakat tidak didengar. Sebagaimana negara demokrasi harusnya mementingkan nilai moral, etika, dan keadilan bagi seluruh mayarakat sesuai dengan Pancasila sila ke lima. Oleh sebab itu cara pandang ini menurut saya kurang adil bagi masyarakat yang mengingkan keadilan ditegakkan namun harus mengikuti regulasi hukum yang sudah tertulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H