Mohon tunggu...
Patriot Negara
Patriot Negara Mohon Tunggu... Lainnya - warga Indonesia

Warga dunia

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Urun Rembuk Seputar Makanan Halal

25 Januari 2016   19:50 Diperbarui: 26 Januari 2016   08:54 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: Kompas/Yuniadhi Agung"][/caption]Berulang kali masalah seputar kehalalan makanan menjadi issue panas di Indonesia.  Seperti beredarnya berita bakso yang bercampur daging babi, resto terkenal yang sudah kadaluarsa sertifikasi halalnya, makanan beredar yang tak mempunyai label halal, dan lain sebagainya. Selain itu muncul pula berita keberatan kalangan produsen makanan mengenai proses sertifikasi halal yang dianggap merepotkan karena sertifikat halalnya hanya berlaku dalam periode empat tahun.

Issue makanan halal pernah menjadi issue nasional tahun 1988. Kehebohan itu bermula ketika Dr. Tri Soesanto yang merupakan seorang ahli teknologi pangan Universitas Brawijaya di Malang melakukan survey dengan dibantu mahasiswanya dan mendapatkan list 34 jenis makanan populer yang diindikasi menggunakan lemak babi. Entah bagaimana tiba-tiba daftar itu diubah orang dan  menjadi 63 jenis makanan termasuk kecap, susu, pasta gigi dan berbagai makanan lainnya. Akibatnya sungguh tak terduga, banyak produsen yang turun omzetnya sampai 75% dan bahkan di wilayah tertentu tak berani menjual produknya karena diterpa issue masuk dalam list makanan yang menggunakan lemak babi.

Dari sini dimulainya insiatif agar pemerintah bertindak untuk melindungi konsumen muslim di Indonesia yang merupakan negara dengan pemeluk agama Islam terbesar di dunia yang juga berarti negara dengan konsumen muslim terbesar di dunia. Dalam perjalanannya sempat terjadi tarik menarik antara keinginan menerapkan labelisasi halal atau sertifikasi halal dan siapa yang berhak melakukannya. Sempat pula ada pihak-pihak yang mengusulkan agar setiap kemasan makanan halal harus ditempel dengan stiker halal dan harus mengganti ongkos cetak sebanyak Rp. 10 per stiker. Perumusan dan pembahasan UU ini memakan waktu cukup panjang dan akhirnya tanggal 17 Oktober 2014 Presiden SBY menandatangani UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal  setelah disetujui oleh DPR satu bulan sebelumnya.

Tulisan ini bertujuan mencoba kembali membuka diskusi tentang makanan halal terlepas dari UUPJH yang baru seumur jagung dan mungkin beberapa peraturan pendukungnya belum tersedia. Diharapkan beberapa masukan bisa dijadikan revisi UUPJH atau direfleksikan dalam berbagai peraturan pendukungnya.

[caption caption="Sumber foto : http://food.technoorbit.com/?page_id=45"]

[/caption]

Tujuan utama Jaminan Produk Halal

Tujuan utama dari Proses Produk Halal (PPH)  adalah menjamin bahwa masyarakat Indonesia yang beragama Islam mengkonsumsi makanan halal baik dari bahan yang digunakan atau proses pembuatannya.

Sertifikasi Halal atau Label Haram.

Dalam UUJPH pasal 4 disebutkan : "Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal."

Produsen makanan wajib mengikuti proses untuk mendapatkan sertifikat halal. Produsen juga wajib menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal (pasal 25). Meskipun demikian produk yang telah bersertifikasi halal tak berarti selamanya produknya pasti halal. Bisa saja ada produsen yang nakal dan sengaja melanggar pasal 25 dengan mengganti bahan yang digunakan dengan bahan yang tidak halal dengan tujuan mengurangi biaya produksinya, meskipun ini diancam dengan denda administratif atau pencabutan sertifikat halal (pasal 27).

Sertifikat halal yang sudah habis masa berlakunya  selama 4 tahun juga tak berarti produknya menjadi haram ketika sertifikatnya kadaluarsa.

Dari argumen diatas jelas bahwa sertifikasi halal bukanlah cara terbaik untuk memastikan produk bersertifikat halal benar-benar merupakan produk halal baik dari sudut bahan yang digunakan dan cara pemrosesannya. Cara untuk memastikan kepastian produk benar-benar halal adalah dengan melakukan pemeriksaan dan pengujian  setiap kali dilakukan pengadaan bahan dan sepanjang waktu pemrosesan yang mana pengujian semacam ini mustahil dilakukan. Cara yang lebih masuk akal adalah dengan melakukan inspeksi berkala secara acak untuk memeriksa produsen yang mengklaim dirinya sebagai produsen produk halal. 

Daripada menerapkan ketentuan wajib mempunyai sertifikat halal, lebih baik dan mudah menerapkan ketentuan wajib memberi label haram bagi produk produsen makanan yang tak sanggup memenuhi ketentuan kehalalan produk. Dengan prinsip ini maka semua produk yang beredar di Indonesia pada dasarnya adalah produk halal, kecuali menempelkan label  haram.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun