Mohon tunggu...
Patriot Negara
Patriot Negara Mohon Tunggu... Lainnya - warga Indonesia

Warga dunia

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Terorisme karena Ketidakadilan Global

3 Januari 2014   11:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:12 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Di malam saat acara pergantian tahun sedang berlangsung,  Kepolisian negara sedang melakukan pengepungan kelompok yang diduga teroris di ciputat. Pengepungan dan penyergapan itu berakhir dengan tewasnya 6 orang dari rumah yang dikepung tersebut.

Sejak peristiwa Bom bali 2002 peristiwa besar yang terjadi adalah tahun 2009 yaitu pengeboman Hotel Ritz Carlton. Setelah terbunuhnya Dr. Azahari pada tahun 2005 serta dan dihukum matinya Imam Samudra, Amrozi dan kawan-kawan, maka diperkirakan teroris di Indonesia sudah kehilangan struktur pimpinannya. Sampai dengan tahun 2008 Polisi sudah menangkap 418 tersangka dan sekitar 250 orang sudah diadili dan dihukum.

Dari rentang panjang waktunya kejadian terorisme di Indonesia sejak tahun 2002 sampai akhir 2013 tampaknya selalu muncul sel-sel teroris  baru yang tidak lagi mempunyai kaitan dengan struktur dari Amrozi dan kelompoknya.   Kaitan antara kelompok ini hanyalah kaitan ideologi kekerasan tanpa mempunyai jaringan komando, pendanaan, dan rekrutment.  Sel teroris muncul bukan karena upaya rekrutment langsung, tapi bisa muncul dan berkembang sendiri karena pemberitaan nasional dan global dimana sel ini merasa bahwa banyak ketidak adilan muncul di dunia ini karena kepongahan beberapa negara raksasa yang menggunakan standard ganda dalam kebijakannya, misalnya ketika bersikap antara Siria, Libya, Mesir, dan Israel.

Hal ini patut menjadi perhatian serius, karena kegagalan memahami fenomena ini akan berakibat pada kegagalan penanganan aksi terorisme dan berakibat menangkap dan menghukum orang yang salah atau perang melawan teror yang tak kunjung berakhir dengan biaya yang sia-sia.

Terorisme muncul ketika kondisi asymmetric muncul, yaitu dua kekuatan yang berlawanan yang sangat tidak berimbang. Yang satunya kekuatan terlalu kuat (biasanya negara itu sendiri) yang mempunyai persenjataan dan dukungan yang mumpuni. Sedangkan kekuatan satunya sangat kecil dan tidak sepadan.  Kekuatan kecil ini sadar bahwa mereka tak mungkin melancarkan serangan symmetric yaitu head to head melawan lawannya sehingga jalan yang dipilih yaitu dengan melakukan serangan bom, baik dengan bom mobil, bom bunuh diri, bom remote control dan sebagainya, dimana biayanya kecil tapi dampak publikasinya sangat luar biasa untuk menunjukkan eksistensi mereka. Terorisme bukan untuk memenangkan pertempuran, tapi untuk menyatakan eksistensi.  Seperti aksi teror IRA di Irlandia Utara yaitu kelompok Katolik yang menginginkan Irlandia utara lepas dari mayoritas Protestan/Anglican Inggris atau aksi teror LTTE yang lebih dikenal sebagai Gerilyawan Macan Tamil yang menginginkan negara tamil yang bersih dari kelompok Sinhala dan Muslim di Srilanka, aksi teror kelompok ini selalu menggunakan momen-momen penting untuk menyatakan eksistensi mereka.

Sejak 2011 gerakan teror di Indonesia merubah taktiknya dengan menyerang target tertentu secara langsung, seperti dalam kasus penyerangan kantor polisi dan beberapa kali kejadian penembakan langsung polisi berseragam.

Himbauan anggota Kompolnas Nasser agar Tokoh Agama dirangkul dalam penanganan terorisme tidak tepat.  Kelompok-kelompok itu menjadi sel teror bukan karena mengikuti ceramah di masjid, tapi karena melihat berita BBC, CNN, dan Reuteurs.  Ajakan damai dari para Ustaz tak akan berdampak banyak kepada para anggota sel teror ini.

Dengan demikian, pemberantasan terorisme lebih tepat dengan menggunakan operasi intelijen dan bukan penyerangan membabi buta berlebihan seperti yang dilakukan oleh Densus 88 dimana para pelaku langsung tewas dan menimbulkan dendam kesumat sehingga memancing pembalasan langsung kepada pihak kepolisian. Kepolisian seharusnya bisa menjelaskan apakah ketika pengepungan berlangsung sudah diupayakan himbauan untuk menyerahkan diri dengan menggunakan negosiator yang handal dan bukan langsung berbicara dengan bahasa senapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun