[caption id="attachment_345456" align="aligncenter" width="245" caption="Jokowi-JK : Kotak-kotak vs Putih"][/caption]
Capres usungan PDIP Jokowi-Jusuf Kalla adalah pasangan yang secara kasat mata terlihat sebagai pasangan hasil kawin paksa. Dikatakan sebagai hasil kawin paksa karena Jokowi terpaksa harus menerima JK, dan JK sebenarnya tak punya jalan lain kecuali menerima Jokowi.
Tidak semua orang di PDIP senang dan bisa menerima Jusuf Kalla. Jusuf Kalla adalah cawapres yang terpaksa harus dipilih dengan berbagai pertimbangan. Meskipun Jokowi amat populer dan konon andaikan dipasangkan dengan monyet pun tetap akan terpilih tapi hasil survey ternyata menyatakan bahwa jika Jokowi dipasangkan dengan Puan Maharani maka pasangan ini akan gatot alias gagal total. Puan Maharani dianggap tidak cukup berakar kuat kebawah.
Perolehan suara PDIP di pileg 2014 yang oleh Puan diprediksi bisa mencapai 37% malah hanya berkisar 18% alias setengah dari prediksi dan bahkan yang sangat memalukan PDIP bahkan tak sanggup jalan sendiri untuk mendapatkan tiket capres. Puan Maharani yang sudah berancang-ancang bersiap untuk menjadi cawapres Jokowi terpaksa harus merelakan tiketnya diserahkan ke Jusuf Kalla yaitu orang yang dianggap sanggup  mengisi kekosongan di diri Jokowi.
Jusuf Kalla sangat sadar dan tahu bahwa PDIP sangat membutuhkan dirinya. Selain dirinya maka tak akan ada tokoh yang bisa mengisi kekosongan Jokowi. Jika Dahlan Iskan yang diambil maka pasangan ini akan menjadi pasangan Jawa sentris yang tentu akan mendapatkan resistensi pemilih luar Jawa. Puan Maharani belum dianggap mampu dan masih hidup di bayang bayang ibunya sendiri. Gita Wiryawan, Anis Baswedan, AM Mahfud tetap dianggap tak akan mendongkrak elektabilitas Jokowi. Trauma kekalahan capres PDIP di pemilu 2004 karena percaya diri berlebihan membuat PDIP harus berpikir panjang.
Pada diri Jusuf Kalla ditemukan aspek administratur ulung karena pengalamannya sebagai wapres SBY dan berbagai posisi di kabinet, sudah mewakili unsur luar Jawa dan juga bisa dianggap sudah merepresentasikan kalangan NU yang juga merupakan segmen pemilih yang sangat besar. Jusuf Kalla juga berlatar belakang pengusaha yang dianggap bisa meredam berbagai kekuatiran para pelaku usaha.
Meskipun demikian track record dan sepak terjang Jusuf Kalla kerap dianggap sering berlari terlalu cepat membuat partnernya (Presiden) menjadi mati langkah dan tertinggal. Hal ini konon terjadi di era pertama SBY sehingga inilah yang menjadi salah satu pertimbangan SBY tidak meminang Jusuf Kalla menjadi cawapresnya dan lebih memilih Budiono yang kalem. Tak kurang Eva Kusuma Sundari mensyaratkan agar JK menandatangani pakta perjanjian untuk selalu bertindak dalam kontrol Jokowi dan Partai pengusungnya yaitu PDIP sebelum resmi didaftarkan sebagai pasangan capres cawapres ke KPU.
Benci tapi butuh. PDIP sadar membutuhkan JK dan JK sadar PDIP tak punya pilihan. Tak pernah diungkap ke masyarakat akta perjanjian JK dan PDIP. Faktanya terlihat bahwa JK kerap berjalan sendiri dan tidak mau tunduk dalam koordinasi Jokowi dan PDIP. Salah satu contoh sederhana, JK bahkan menolak menggunakan kostum kotak-kotak Jokowi sehingga dalam berbagai foto resmi pasangan ini nampak pasangan berbeda sendiri.
Pasangan capres dan cawapres yang tidak kompak akan membuat jalannya pemerintahan timpang karena presiden dan wakil presiden yang bertikai dan sà ling berebut pengaruh. Gajah bertengkar dan semut yang akan terinjak. Semoga itu tak terjadi di negeri ini.
Sumber foto : http://bali.bisnis.com/read/20140611/8/45493/tim-sukses-jokowi-jk-pawai-obor-keliling-bali-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H