Suatu pagi di saat masih kuliah di Bandung dari radio terdengar berita duka bahwa ketua Yayasan Pembina Masjid Salman Prof. Ahmad Sadali (rahimahullah) meninggal dunia. Berita ini sangat mengejutkan karena Prof Sadali adalah bagai orang tua bagi para aktifis masjid Salman. Senyumnya yang khas senantiasa menyapa siapapun yang berpapasan dengannya di kompleks masjid Salman.
Sebagai mahasiswa junior yang baru masuk, saya tak intens berkomunikasi dengan beliau. Hanya sapaan salam, pertanyaan singkat apa kabar, dan senyum ketika berpapasan. Apalagi beliau dikenal sebagai seniman nasional yang karya-karyanya banyak dipamerkan dibanyak tempat.
Tapi hubungan formal yang tak intens tak membuat hubungan emosional renggang. Bagi mahasiswa yang suka memanfaatkan masjid Salman untuk beraktifitas atau bahkan sekedar untuk shalat lima waktu ataupun sekedar lewat disana beliau adalah sosok pengayom dengan wajah teduh dan senyum khasnya.
Seusai menghadiri kuliah sayapun ikut melayat ke rumah beliau di Dago. Meskipun tak ada air mata, tapi ada rasa kehilangan mendalam atas kepergiannya. Seusai melayat, kami menanti di masjid Salman menunggu untuk ikut bersama menshalatkannya dan prosesi shalat jenazah diikuti oleh banyak orang. Saat itu beliau direncanakan akan dikuburkan di kota kelahirannya Garut dan pihak kampus sudah menyediakan bus-bus bagi mahasiwa yang ingin ikut mengantar jenazahnya.
Tanpa berpikir panjang sayapun ikut mengantar jenazahnya ke Garut beserta dengan rombongan ratusan orang yang lain, menyaksikan proses penguburannya dan ikut mendoakan setelah selesai upacara penguburannya. Alhamdulillah, mulai dari melayat, menshalatkan, dan mengantar ke kuburan bisa dijalankan dengan baik.
Peristiwa ini begitu membekas panjang karena bisa menyaksikan orang-orang yang tulus datang untuk melayat, yg tulus datang meninggalkan aktifitasnya untuk ikut menshalatkan dan bahkan meluangkan waktunya untuk mengantar sampai dikuburkan ke kota Garut. Prof. Sadali bukanlah seorang artis terkenal, tak pernah jadi menteri, tak pernah duduk di kabinet, tapi begitu dihormati oleh banyak orang karena jasa beliau yang menjadi perintis pendirian Masjid Salman bersama beberapa tokoh lainnya.
Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Ketulusan inilah yang susah dicari sekarang ini, disaat kepentingan menjadi tujuan. Orang-orang yang datang berkumpul kebanyakan bukanlah orang-orang yang tulus datang, tapi orang-orang yang sedang memperebutkan sepotong roti, baik roti gandum ataupun roti emas.
Saya kutip sebuah syair arab yg terjemahannya seperti berikut :
Kamu dilahirkan ibumu wahai bani Adam dalam keadaan menangis
Dan orang-orang sekelilingmu tertawa gembira menyambut kedatanganmu
Maka berusahlah bagi dirimu