Mohon tunggu...
Shakira Aurelia Puteranda
Shakira Aurelia Puteranda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi jurusan Administrasi Publik Universitas Airlangga.

Memiliki ketertarikan terhadap Buku, Musik, Politik dan Pemerintahan serta Memiliki Hobi yakni Membaca berita.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Maraknya Buzzer Politik di Media Sosial: Kaya Provokasi, Minim Data

10 Mei 2023   14:48 Diperbarui: 10 Mei 2023   15:07 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Buzzer Politik di Media Sosial Sumber : canva.vom

Belakang ini istilah buzzer sedang marak diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia, khususnya para pengguna media sosial. Saat ini buzzer dianggap memiliki pengaruh besar terhadap kegiatan bersosial media. Buzzer adalah orang perseorangan (individu) atau kolektif (kelompok) yang memiliki efek dalam menyuarakan atau menyatakan suatu kepentingan terkait suatu isu, yang dapat dilakukan dengan akun pribadi atau akun palsu seperti akun anonim. Buzzer mempunyai koneksi yang cukup luas sehingga konten yang dihasilkan sesuai dengan isu yang sedang mencuat dan kalimat yang dipakai adalah kalimat yang mengandung ajakan.

Jeff  Staple seorang pengamat media sosial menjelaskan bahwa buzzer adalah individu atau seseorang yang menggunakan media sosial untuk  menuliskan opini yang bisa dipercaya, didengarkan dan membuat orang lain ingin menanggapi setelah membaca opini tersebut. 

Seorang buzzer akan memberikan pengaruh pada para pembaca melalui unggahan di timeline media sosial yang bisa berupa kalimat, gambar atau video. Hal tersebut merupakan kekuatan dari buzzer yang pada dasarnya kemampuan utama dari buzzer adalah memengaruhi para pembacanya. Mudahnya, buzzer adalah pelaku buzzing yang bekerja untuk menyuarakan kebisingan khususnya di media sosial.

Tahun 2017 Centre of Innovation Policy dan Governance (CIPG) melakukan riset mengenai sejarah buzzer di Indonesia yang awalnya dianggap sebagai hal yang wajar saja, karena buzzer lebih sering digunakan untuk strategi promosi produk suatu brand. Namun, kini buzzer dipandang sebagai jasa atau layanan yang erat kaitannya dengan isu-isu politik. Semenjak itu buzzer dicap sebagai pihak yang dibayar untuk mengunggah konten yang bersifat negatif di platform media sosial. Di Indonesia sendiri istilah buzzer politik mulai terdengar ketika Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019 antara Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Para elit politik atau kelompok politik memanfaatkan jasa buzzer politik untuk kampanye di media sosial yang bertujuan untuk memenangkan suatu kontestasi politik yang akan atau sedang berlangsung. Biasanya, sebagian dari mereka melakukan kampanye di media sosial untuk menjatuhkan kredibilitas lawan politik dengan berita bohong atau hoax. Pada saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) para calon pasangan menggunakan jasa buzzer politik yang identik dengan unggahan narasi negatif dan biasanya buzzer politik telah menyatu dalam tim sukses masing-masing calon pasangan.

Buzzer politik terbagi menjadi 2 yaitu buzzer politik yang bekerja secara profesional dan buzzer politik yang dengan sukarela melakukannya untuk kepentingan politik tertentu, yang didasari dengan kesamaan ideologi atau kepentingan dengan tokoh politik yang didukung. Buzzer sukarelawan tidak menerima imbalan atau bayaran karena beralasan ingin ikut berkontribusi pada kepentingan politik tertentu, sedangkan buzzer politik professional menerima imbalan atau bayaran yang besar. 

Proses untuk menjadi seorang buzzer politik diawali dengan rekrutmen terbuka yang secara sengaja ditujukan kepada para mahasiswa, yang bertujuan untuk menggapai generasi millennial. Setelah melalui proses rekrutmen terbuka, para buzzer politik professional akan di briefing untuk melakukan serangkaian tugas yang berhubungan dengan kampanye politik di media sosial. 

Sementara itu, buzzer politik sukarelawan tidak melalui proses rekrutmen terbuka melainkan secara mandiri memposting konten di media sosial yang selaras dengan ideologi calon pasangan yang mereka dukung, lalu mereka akan dihubungi langsung oleh tim sukses masing-masing calon pasangan dan diminta kesediaannya untuk bergabung.

Buzzer politik tidak bermain sendirian, tetapi warganet juga terlibat dalam adu argumen di kolom komentar media sosial yang bisanya mengandung ujaran-ujaran kebencian yang menyebabkan pertikaian yang tidak dapat dihindari dan dikendalikan. Seperti pada Pemilihan Presiden 2019 yaitu polarisasi kubu 01-02 dan cebong vs kampret yang belum berakhir hingga Pemilihan Presiden selesai.

Penggunaan media sosial saat ini terbilang sangat masif serta digunakan sebagai media pemasaran politik, yang mana dapat mempengaruhi keputusan politik masyarakat. Media sosial digunakan untuk kampanye politik disebabkan oleh biayanya yang lebih murah dibandingkan kampanye langsung dan jangkauan massa bisa lebih luas untuk memperkenalkan para calon pasangan kepada masyarakat khususnya pengguna media sosial. Platform media sosial yang paling sering digunakan oleh buzzer politik adalah Twitter, mengapa Twitter? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun