KOMITMEN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusulkan penundaan pelantikan tiga anggota DPR RI terpilih periode 2014 – 2019 berstatus tersangka karena masalah hukum patut didukung. Namun muncul pertanyaan, bagaimana pula anggota dewan di sejumlah daerah di Indonesia dengan status yang sama tetap dilantik dan diambil sumpahnya menjadi anggota DPRD periode 2014 - 2019.
Untuk diketahui, tiga anggota DPR RI terpilih yang menyandang status tersangka korupsi adalah Jero Wacik, Idham Samawi dan Herdian Koosnadi. Jero yang terpilih sebagai anggota DPR RI dari Partai Demokrat.
Sedangkan Idham dan Herdian terpilih sebagai anggota DPR RI dari PDIP. Idham yang juga mantan Bupati Bantul, Yogyakarta menjadi tersangka kasus dugaaan korupsi dana bantuan untuk klub sepakbola Persiba. Sedangkan Herdian terseret kasus dugaan korupsi proyek puskesmas di Tangerang Selatan. Kini, kasus dugaan korupsi yang menjerat Idham dan Herdian ditangani kejaksaan.
Sikap KPK tersebut dinilai dilematis. Kenapa hanya DPR RI saja yang disorot?, sementara DPRD dibiarkan saja. Saat ini sejumlah anggota DPRD terpilih menyandang kasus yang sama dengan ketiga anggota DPR RI, tapi mereka sudah dilantik dan diambil sumpahnya. Apakah penerapan hukum KPK hanya berlaku di pusat, di daerah tidak?. Kalau ini dibiarkan, maka terjadi ketimpangan penerapan hukum,dan menimbulkan rasa ketidakadilan antara anggota DPR RI dan DPRD. Walaupun mereka berstatus tersangka, tapi proses hukumnya masih panjang dan masih menunggu kekuatan hukum tetap, jadi untuk apa kita menerapkan asas hukum praduga tidak bersalah.
Sikap KPK tersebut membuat penulis penasaran,?.Niat baik KPK untuk ‘merecal’ oknum-oknum anggota DPR RI terpilih karena diduga tersangkut kasus hukum patut diapresiasi, namun menurut penulis handing kurang tepat, semestinya usulan KPK itu jauh-jauh disampaikan sebelum pelantikan anggota DPR RI dan anggota DPRD di seluruh Indonesia. Sehingga usulan penundaan pelantikan itu juga bisa diterapkan secara menyeluruh di daerah.
Dari sisi persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, terhadap calon anggota DPR RI periode 2014-2019 yang akan dilantik 1 Oktober 2014 dan anggota DPRD yang sudah dilantik yang baru-baru ini yang telah ditetapkan statusnya sebagai tersangka karena masalah hukum tidak serta merta langsung digugurkan atau ditunda pelantikan. Karena kalau melihat salah satu persyaratan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kotasaat mendaftar diri sebagaimana diatur pada pasal51 ayat 1 huruf g UU No. 8tahun 2012 berbunyi : ”Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih,”. Akibatnya, sejumlah oknum anggota DPRD terpilih yang menyandang status tersangka tetap dilantik dan diambil sumpahnya, karena pihak-pihak terkait termasuk penyelenggara pemilu dan sekretariat DPRD di daerah dinilai berpegang pada pasal51 ayat 1 huruf g UU No. 8tahun 2012.
Penulis menilai, kalau KPK meminta agar tiga anggota DPR RI terpilih bersatus tersangka ditunda pelantikannya sampai mereka mempunya kekuatan hukum tetap, semestinya hal serupa juga diberlakukan di daerah (DPRD), karena anggota DPRD didaerah juga pada saat pelantikan diambil sumpahnya. Terhadap proses hukum kita tetap mengedepankan supresmasi hukum buka supremasi etika, padahal anggota DPRD RI terpilih dan baru akan dilantik itu kan baru berstatus tersangka belum tentu dalam perjalanan proses hukumnya terbukti. Meskipun selama ini proses hukum yang ditangani KPK belum pernah ada pelaku tindak pidana korupsi yang ditetapkan sebagai tersangka dinyatakan bebas. perlu diketahui, tidak semua ketiga anggota DPR RI itu bermasalah itu kasusya ditangani KPK.
Bila kita hubungkan dengan proses penundaan pelantikan akan tetap terkait dengan proses pergantian calon terpilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD aturan tetap berpegang pada pasal 220 UU No. 08 tahun 2012 tentang pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD.
Pada pasal 220 UU No. 08 tahun 2012 berbunyi :
(1) Penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan apabila calon terpilih yang bersangkutan:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri;
c. tidak lagi memenuhi syarat menjadi anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/kota; atau
d. terbukti melakukan tindak pidana Pemilu berupa politik uang atau pemalsuan dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Dalam hal calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d telah ditetapkan dengan keputusan KPU, KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota, keputusan penetapan yang bersangkutan batal demi hukum.
(3) Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon dari daftar calon tetap Partai Politik Peserta Pemilu yang sama di daerah pemilihan tersebut berdasarkan urutan suara terbanyak berikutnya.
(4) Calon terpilih anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti dengan calon yang memperoleh suara terbanyak berikutnya.
(5) KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai calon terpilih pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan keputusan KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota paling lambat 14 (empat belas) hari setelah calon terpilih berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Sementara di satu sisi, Penyelenggara pemilu yang berpedoman pada UU No. 08 tahun 2012 dan Peraturan KPU No. 09 tahun 2013, juga harus bisa menerapkan aturan yang sama antara DPR RI dan DPRD.
Terhadap anggota DPR dan DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota yang dinilai bermasalah, pengaturan tersendiri sebagaimana ditegaskan oleh UU No. 27 tahun 2009 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Masalah larangan KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) terhadap anggota dewan memang sudah ditegaskan pada pasal pasal 350 ayat 3, 236 ayat 3, pasal 400 ayat 3 UU No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD berbunyi : “Anggota DPR, DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme,”.
Hanya saja, anggota dewan yang dinila melanggar pasal 350 ayat 3, 236 ayat 3, pasal 400 ayat 3 tersebut harus diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPR/DPRD, sebagaimana diatur pada pasal 237 ayat 3, pasal 351 ayat 3 dan pasal 401 ayat 3 UU No. 17 tahun 2014. Pemberhentikan anggota dewan yang tersangkut masalah KKN diperkuat pada pasal 241 ayat 1 UU No. 17 tahun 2014 berbunyi : “Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai politiknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (2) huruf d dan yang bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”
Dalam pasal 244 UU No. 17 tahun 2014, selain diberhentikan tetap, anggota DPR RI bisa diberhentikan sementara apabila :
(1) Anggota DPR diberhentikan sementara karena:
a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; atau
b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
(2) Dalam hal anggota DPR dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPR yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPR.
(3) Dalam hal anggota DPR dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPR yang bersangkutan diaktifkan.
(4) Anggota DPR yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu
Begitupun pemberlakukan terhadap anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana telah diatur pada pasal 362 dan pasal 412 UU No. 17 tahun 2014.
Mengacu kepada UU No. 17 tahun 2014, proses pemberhentian tetap dan pemberhentian sementara anggota DPR dan DPRD sudah diatur secara tegas, ` seorang anggota dewan saja yang baru ditetapkan terdakwa dalam kasus pidana umum atau khusus baru diberhentikan sementara, sampai kasus hukumnya memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila terjadi perselisihan antara anggota partai politik dengan institusinya, maka bisa diselesaikan melalui mahkamah partai politik atau sebutan lainnya oleh partai politik bersangkutan sebagaimana diatur dalam UU No. 2 tahun 2008 yang telah ubah menjadi UU No. 2 tahun 2011 tentang partai politik.
Dengan demikian, usulan penundaan pelantikan tiga anggota DPR RI tersebut oleh KPK merupakan salah satu terobosan hukum, namun terobosan hukum tersebut perlu ada payung hukumnya, sehingga akan menjadi acuan terhadap kasus-kasus sama kedepannya. Sehingga pemberlakukan di pusat dan di daerah sama. Khususnya penyelenggara pemilu dan pemerintah daerah tidak lagi merasa ‘bingung’ dalam menerapkan kasus yang akan dihadapi seperti kasus DPR RI tersebut diatas.
Diakhir kalimat ini, penulis hanya menyarankan kepada pihak KPK dan KPU agar tetap menerapkan aturan hukum ketat selagi aturan itu ada dan berlaku. KPK sebagai panglima terdepan dalam pemberantasan korupsi itu tetap masih menjadi tumpuan utama masyarakat untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. I ♥ KPK dan I ♥ KPU. (*penulis adalah alumni Fakultas Hukum Universitas Jambi (Unja) dan mantan anggota KPU Batang Hari 2008 – 2013)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H