Apakah kalian tahu bahwa aktivitas manusia dapat dengan mudah menyebabkan kebakaran hutan? Ya benar, hal tersebut dapat terjadi ketika adanya penghijauan spesies - spesies tertentu seperti spesies kayu putih dan pinus yang dilakukan bersamaan dengan tren pemanasan dan pengeringan yang sangat meningkatkan aktivitas kebakaran hutan. Saat ini lebih dari 50.000 kebakaran hutan terjadi setiap tahun yang menghancurkan hutan dan daerah berhutan (EEA 2011; FAO 2013).Â
Angka tersebut tentu bukanlah jumlah yang sedikit dan bisa menimbulkan dampak yang besar pada kondisi tanah di hutan karena tanah yang terkena kebakaran hutan dapat menyebabkan terbentuknya senyawa organik berbahaya seperti Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs).
Apakah kalian pernah mendengar tentang Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) ? PAHs merupakan hidrokarbon yang terdeteksi sebagai akibat dari kebakaran hutan dan merupakan hidrokarbon dengan berat molekul tinggi (HMW) yang mewakili hingga 98% dari total hidrokarbon yang dilepaskan ke tanah setelah kebakaran hutan (Andreolli et al., 2015). Hidrokarbon HMW memiliki toksisitas yang menimbulkan risiko bagi kesehatan manusia yang berada disekitarnya. Lalu bagaimana caranya agar dapat menghilangkan hidrokarbon tersebut dari tanah hutan?
Salah satu metode yang umum digunakan untuk menghilangkan hidrokarbon dari tanah ada bioremediasi. Metode ini melibatkan penggunaan mikroorganisme yang dapat menguraikan hidrokarbon menjadi senyawa yang lebih sederhana. Pemberian mikroba pengurai ini dapat dilakukan dengan mengaplikasikan larutan atau menggunakan metode pemupukan mikroba. Komunitas mikroba di tanah yang terkena dampak kebakaran hutan biasanya mengalami pengurangan dan penghambatan yang drastis, serta menghasilkan reaktivitas biologis yang lebih rendah.Â
Hal ini ternyata sejalan dengan bioremediasi yang merupakan penggunaan mikroorganisme untuk mereduksi polutan di lingkungan. Ketika bioremediasi terjadi, ensim - enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur kimia polutan tersebut (biotransformasi). Â Biotransformasi ini yang mengakibatkan proses biodegrasi yaitu mengubah polutan beracun menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun.
Bioremediasi dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan seperti pelemahan alami, bioaugmentasi, dan biostimulasi. Pelemahan alami sendiri adalah proses lingkungan tanah yang terkontaminasi secara alami membersihkan dirinya sendiri tanpa adanya campur tangan manusia. Proses ini terjadi karena sudah tersedia nutrisi untuk mendukung aktivitas mikroorganisme begitu pula keberadaan mikroorganisme itu sendiri secara alami (Brooker, 2008).Â
Namun, proses atenuasi alami atau pelemahan alami ini sering memakan waktu lama dan tidak selalu efektif untuk membersihkan lingkungan yang terkontaminasi secara sigifikan karena mikroorganisme terkandung belum tentu sesuai dengan polutan yang akan didegradasinya. Berbeda dengan bioremediasi intrinsik, bioaugmentasi merupakan salah satu metode yang digunakan dalam bioremediasi yaitu dengan menambhakan bakteri luar pada media tercemah.Â
Makhluk hidup yang digunakan merupakan bakteri resisten dan mampu menyisihkan hidrokarbon. Sedangkan biostimulasi adalah teknik dalam bioremediasi yang melibatkan pemberian nutrisi tambahan ke dalam lingkungan yang terkontaminasi untuk meningkatkan aktivitas mikroorganisme alami yang ada di lingkungan tersebut melalui penyediaan akseptor atau donor elektron, pH dan penyesuaian suhu dan aerasi substrat (Khan et al., 2004; Desay et al., 2010). Untuk nutrisi tambahan ini bisa berupa bahan organik, senyawa anorganik, atau mikroba yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme tersebut.Â
Penyerapan lebih banyak hidrokarbon dari tanah yang terdampak kebakaran hutan dan lebih cepatnya waktu untuk mendegradasi hidrokarbon terjadi pada strategi bioaugmentasi dibandingkan pelemahan alami dan biostimulasi. Hal ini dikarenakan adanya tambahan bakteri Bacillus subtilis DSM 3256.Â
Dimasukannya mikroba penghasil biosurfaktan seperti Bacillus subtilis DSM 3256 dalam protokol biaugmentasi dapat berkontribusi pada degradasi hidrokarbon dengan mengemulsi kontaminan nonpolar, yang membuatnya lebih tersedia untuk enzim mikroba. Biosurfaktan sendiri merupakan bioproduk yang dihasilkan makhluk hidup, khususnya mikroba yang mempunyai sifat dapat menurunkan tegangan permukaan antar permukaan. Sintesis surfaktan antar Bacillus subtilis juga dirangsang oleh adanya hidrokarbon (Abel  et al., 2010) yang dapat mendorong pelepasan minyak dari matriks yang terkontaminasi ( Vaz et al., 2012; Sen, 2008), sehingga meningkatkan biodegradasi hidrokarbon (Lai  et al., 2009).
Adanya peran yang merupakan bakteri Bacillus subtilis pendegradasi hidrokarbon menyebabkan strategi biaugmentasi lebih unggul dibandingkan hanya mengandalkan bakteri -bakteri alami pada pelemahan alami dan biostimulasi. Oleh karena itu, efisiensi dan efektifitas bioremediasi yang lebih cepat dan efektif untuk menghilangkan hidrokarbon berat molekul tinggi dari tanah yang terkena dampak kebakaran hutan ialah bioaugmentasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H