Mohon tunggu...
Shahnaz Nurazizah
Shahnaz Nurazizah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mathematics Education Student

Education enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Momen Ketika Siswa Tertekan, Guru Terbebankan, Orang Tua Kewalahan: UN Kembali Menyapa dengan Wajah Baru, Namun Kegelisahan Lama Kembali Terulang

29 Desember 2024   21:25 Diperbarui: 29 Desember 2024   21:30 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Setelah sempat ditinggalkan dan dianggap tak lagi relevan, Ujian Nasional (UN) kini direncanakan untuk kembali hadir di tengah dinamika pendidikan Indonesia. Pada tahun 2025, pemerintah mengumumkan rencana pemberlakuan kembali Ujian Nasional (UN) dengan dalih meningkatkan kualitas pendidikan dan standarisasi capaian belajar siswa secara nasional. Ujian Nasional (UN) kali ini digadang-gadang hadir dengan format baru yang lebih adaptif, dirancang untuk menjawab tantangan kebutuhan pendidikan di abad ke-21. Dalam versi terbarunya, Ujian Nasional (UN) bukan lagi soal hafalan belaka, tetapi untuk mengukur kompetensi mendalam siswa. Namun, di balik segala optimisme yang dipoles pemerintah, muncul kekhawatiran dari berbagai pihak tentang relevansi kebijakan ini dengan realitas pendidikan di Indonesia. Meski tampak menjanjikan, kebijakan ini justru mengundang pertanyaan besar, "Apakah Ujian Nasional (UN) yang 'berwajah baru' ini benar-benar menjadi solusi, atau hanya sekadar upaya lain untuk mendaur ulang ide lama dengan kemasan yang lebih menarik?".

Siswa tetap dihadapkan pada tekanan besar untuk memenuhi standar nasional yang entah bagaimana kemampuan siswa hanya dipadankan dengan beberapa soal yang diselesaikan dalam waktu sekejap, atau bahkan seolah-olah penentuan masa depan siswa paling tepat diukur hanya dengan beberapa digit yang tertera setelah Ujian nasional (UN). Dan yang lebih ironis, seluruh proses ini dianggap sebagai cara paling objektif untuk mengukur kualitas pendidikan, padahal tak sedikit siswa yang harus bertarung dengan keterbatasan akses pendidikan yang masih terbilang sangat timpang. Namun, alih-alih memperbaiki sistem pendidikan yang terus berjalan di tempat, pemangku kebijakan tampaknya lebih peduli dengan angka-angka hasil ujian. Lantas, apa yang membuat Ujian Nasional (UN) diklaim sebagai penilaian kompetensi mendalam? Yakinkah Ujian Nasional (UN) ini hadir sebagai solusi untuk mencerminkan kualitas pendidikan yang sebenarnya? Atau justru adaptasi ini hanya menjadi upaya lain untuk memaksakan keseragaman di tengah realitas yang jauh lebih kompleks?

Di sisi lain, tekanan psikologis siswa yang sempat menjadi sorotan masa kelam ternyata tetap menjadi momok yang belum terpecahkan. Pemerintah bisa saja berdalih dengan jargon-jargon soal memperhitungkan aspek psikologis dalam sistem pendidikan, tetapi kenyataannya Ujian Nasional (UN) yang diunggul-unggulkan ini, justru memupuk kecemasan yang tak terelakkan. Bahkan, dengan format baru sekalipun, siswa tetap harus menelan kenyataan pahit yang sama: kecemasan yang terus mendera, tekanan yang tak kunjung reda. Siswa masih terjebak dalam tekanan, dipaksa untuk memenuhi standar dengan memeras pikiran, waktu, dan tenaga, tanpa benar-benar yakin mereka dapat memahami materi secara mendalam. Alih-alih memperoleh pengalaman belajar yang menyenangkan, Ujian Nasional (UN) ini malah seolah-olah menjadi sebuah sistem yang bukannya mengembangkan siswa, tetapi justru terlarut sibuk menjadi mesin pencetak angka di mana pembelajaran bermakna dan pemahaman mendalam dikesampingkan hanya demi memenuhi ekspektasi angka-angka semata. Jadi, apakah ini hanya sekadar arena pada ajang lomba kejar-kejaran angka yang mengaburkan esensi pendidikan, yang mana seharusnya berorientasi pada pengalaman belajar mendalam dan bermakna?

Tekanan akibat Ujian Nasional (UN) ini tak hanya dirasakan siswa, tetapi yang lebih ironis lagi, hal ini juga merembet ke orang tua yang terjebak dalam kecemasan yang sama. Mereka dipaksa untuk memikul harapan yang tak jarang terlalu tinggi, berfokus pada angka kelulusan anak mereka, bukan pada proses belajar yang sesungguhnya. Orang tua yang seharusnya memberikan dukungan, malah kini terperangkap dalam perlombaan mencetak angka tinggi demi memastikan anaknya tidak 'gagal total' dalam ajang ini. Sampai pada akhirnya, mereka sampai kewalahan dan rela melakukan segala cara seakan-akan sudah terbelenggu dalam sistem yang lebih membanggakan angka sempurna.

Tak hanya siswa dan orang tua saja, para guru yang seharusnya berperan sebagai ujung tombak pendidikan, dimana mereka seharusnya membimbing, menginspirasi, dan mengembangkan potensi siswa, kini kembali terperangkap dalam rutinitas yang dipaksa untuk menjadi 'operator' yang mengatur siswa agar terlepas dari jebakan kegagalan ujian. Sosok guru, yang konon katanya diharapkan bisa menciptakan generasi cerdas, berpikir kritis, dan mampu bersaing secara global, kini kembali terbebani dalam siklus tuntutan untuk memastikan setiap siswa lolos ujian dengan nilai yang gemilang. Akibatnya, guru merasa bahwa "Bukankah lebih praktis untuk menghafal pola ujian dan mengajarkan cara-cara licik demi siswa lolos ujian, daripada mengajarkan konsep-konsep secara mendalam yang toh, tidak akan diukur oleh ujian yang hanya peduli pada angka?". Inilah paradoksnya: guru terjebak untuk memilih efisiensi semu dengan mengorbankan esensi pendidikan yang sejati.

Pada akhirnya, semuanya berputar hanya pada satu hal: angka. Dari siswa, guru, hingga orang tua, semuanya dipaksa untuk terjebak dalam perangkap yang sama, "Mengejar angka demi angka, tanpa ada yang benar-benar peduli pada proses pendidikan yang dijalani". Sistem pendidikan yang seharusnya menjadi wadah eksplorasi pengetahuan, mengasah keterampilan, dan pembentukan karakter, malah menjadi ladang perlombaan mencetak angka yang tidak ada ujungnya. Pada akhirnya, kebijakan menghadirkan Ujian Nasional (UN) kembali di tengah-tengah kalangan pelajar ini menimbulkan ironi: di satu sisi bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi di sisi lain malah mengabaikan aspek-aspek penting yang seharusnya menjadi prioritas.

Jika para pemangku kebijakan benar-benar mempertimbangkan dan mengkaji ulang terkait Ujian Nasional (UN), harapannya kebijakan tersebut benar-benar bisa menjadi solusi nyata, bukan hanya mendaur ulang ide lama dengan kemasan lebih menarik yang tetap membuat siswa tertekan, guru terbebankan, dan orang tua kewalahan, ataupun tidak hanya sekadar ajang untuk perlombaan mencetak angka-angka yang tinggi, tetapi menjadi tolak ukur yang sebenarnya pada proses belajar yang holistik dan mendalam yang mencerminkan kemampuan mereka dalam berpikir kritis, kreatif, dan mengatasi tantangan global yang jauh lebih kompleks. Jika kebijakan ini hadir kembali tanpa perubahan yang berarti, maka hal tersebut hanya akan menjadi perangkap dalam rutinitas yang sia-sia, tanpa memberikan kesempatan siswa untuk berkembang secara utuh. Jangan sampai pendidikan terus bertahan dalam sistem yang mengedepankan angka hasil ujian yang hanya dikerjakan dalam waktu sekejap. Maka, pikirkan kembali, apakah Ujian Nasional (UN) benar-benar telah direformasi dengan tujuan yang jelas sehingga menjadi solusi yang tepat untuk menjadikan pendidikan Indonesia lebih baik?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun