Tahun 2024 semakin dekat, tidak lama lagi Indonesia akan memasuki masa kedilemaan memilih pemimpin rakyatnya. Pemimpin yang mampu bijak dalam memenuhi harapan, keinginan serta hak mereka.
Pemilihan haruslah memegang teguh landasan 2 aspek utama yakni, bebas dan adil. Bebas berarti dapat memilih tanpa paksaan dari sudut manapun, adil berarti perlakuan sama antara peserta pemilih dengan kandidat calon pemimpin tanpa perlakuan istimewa di satu pihak.
Pemilihan merupakan momen penting dari demokrasi dimana kesempatan setiap warga negara menggunakan hak demokrasi dan menyuarakan aspirasi mereka. Tepat di tahun 2024 juga, dilaksanakan Pilkada serentak.Â
Namun, akhir tahun 2021 sempat beredar kabar bahwasanya Pilkada akan diselenggarakan sesuai dengan hitungan lima tahun sekali tanpa harus menunggu 2024 untuk pelaksanaannya. Itu berarti, Pemimpin Daerah yang sudah habis masa jabatannya di tahun 2022, akan digantikan melalui Pilkada di tahun yang sama, akan tetapi hal tersebut tidak dapat terealisasikan setelah batalnya RUU revisi UU Pemilu dan Pilkada.
Pada saat memasuki musim pemilihan, para petinggi politik bersaing mendapatkan hati masyarakat dengan cara apapun, salah satu cara yang sudah tidak asing didengar yakni Politik Uang.Â
Dikutip dari jateng.bawaslu.go.id, politik uang ialah kegiatan guna mencapai suatu maksud dengan menghasut orang lain dengan memberikan upah materi atau jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan. Contoh nyata tindakan tersebut seperti mengedarkan uang pribadi atau sponsor (partai) untuk menarik perhatian masyarakat.
Politik uang sudah seperti budaya di Indonesia, yang dimana hal tersebut sangat miris diakui. Padahal, Pilkada yang bersih akan melahirkan pemimpin yang jujur dan adil. Dari pernyataan di atas yang menerangkan bahwa politik uang sudah menjadi budaya di Indonesia, itu berarti sistem pemilihan  di Indonesia belum secara tegas menerapkan asas-asas pemilu yakni LUBER dan JURDIL (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia) dan (Jurdil dan Adil).
Dinyatakan dalam Bab VII B Pemilu, Pasal 22E ayat (1) berbunyi, "Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali". Hal tersebut sudah tertulis secara jelas dan gamblang dalam Undang-Undang.
Sebelum memutuskan untuk memilih siapa yang akan menjadi pemimpin, peserta harus paham betul bahwa satu suara akan sangat berdampak panjang dan mengubah tatanan wilayah tersebut.Â
Dari hasil pungutan suara, setiap pemimpin akan melahirkan dampak dan perubahan, dapat berupa positif maupun negatif. Itu sebabnya, peserta harus memilih sesuai dengan keyakinan dan dari hati sendiri tanpa adanya pengaruh penyuapan berupa materi dari pihak kandidat. Peserta juga diharapkan untuk tidak golput (golongan putih) yang dimana peserta tidak memberikan suara atau tidak memilih calon kandidat satupun.Â
Aksi golput sama bahayanya dengan politik uang, karena apabila ada suara yang kosong, suara tersebut dapat dicurangi oleh oknum jahat dari pihak kandidat. Pilkada yang bersih juga tidak boleh adanya paksaan dalam memilih, paksaan dapat berbentuk penyuapan uang, paksaan verbal maupun nonverbal, paksaan fisik dan lain-lain.