"Angin tidak punya KTP.", kata-kata tersebut cukup fenomenal di awal tahun 2024 dimana waktu itu permasalahan lingkungan seperti limbah, pemanasan global, dan polusi semakin menjadi perhatian global. Pengelolaan suatu indsutri terhadap limbah yang mereka hasilkan berpotensi akan merusak bumi dalam jangka panjang. Isu-isu ini tidak hanya memengaruhi kesehatan ekosistem, tetapi juga menimbulkan risiko serius bagi kelangsungan hidup industri dan perusahaan. Pengelolaan limbah yang buruk misalnya, dapat merusak lingkungan dan reputasi perusahaan, bahkan di beberapa kasus suatu daerah mendapat "kiriman" polusi dari daerah lain yang menyebabkan kualitas daerah tersebut tidak aman. Global warming juga memicu tantangan baru, seperti peningkatan risiko bencana alam, yang bisa mengganggu rantai pasok perusahaan. Akar dari masalah tersebut ialah perilaku manusia yang egois dan kejam, serta eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan untuk meningkatkan taraf hidup ekonomi, kesejahteraan sosial dan kemakmuran negara. Dalam konteks ini, perusahaan perlu menyesuaikan diri dengan pendekatan yang lebih berkelanjutan dan tidak serta merta mementingkan profit. Â Â
Dampak negatif terhadap lingkungan telah mengubah cara pandang perusahaan tentang tanggung jawab mereka. Ketika publik semakin menyadari krisis lingkungan, tekanan pada perusahaan untuk beroperasi secara lebih berkelanjutan semakin meningkat. Perusahaan yang gagal beradaptasi dengan tuntutan ini sering kali menghadapi kerugian finansial akibat regulasi yang ketat bahkan penurunan minat investor. Dicetuskan pada tahun 1970 di Eropa, Akuntansi lingkungan hidup yang berasal dari konsep Green Accounting merupakan upaya perusahaan untuk meningkatkan perekonomian dengan tidak mengabaikan lingkungan hidup Perusahaan. Green Accounting adalah identifikasi, prioritas, kuantifikasi, dan kualifikasi biaya lingkungan dan penggabungannya kedalam pengambilan keputusan bisnis. Dengan menggunakan Green Accounting, perusahaan dapat menghitung dampak lingkungan dari aktivitas bisnis mereka dan mengambil langkah-langkah untuk menguranginya. Namun, di negara-negara berkembang, akuntansi hijau masih sangat jarang diberitahukan. Indonesia seharusnya dapat menerapkan akuntansi lingkungan, tetapi karena belum memiliki undang-undang akuntansi lingkungan yang jelas, pelaporan lingkungan masih dilakukan secara sukarela.
Keunggulan utama Green Accounting dibandingkan dengan akuntansi komersial tradisional adalah kemampuannya untuk menangkap biaya eksternal yang sering diabaikan, seperti biaya kerusakan lingkungan. Dalam akuntansi komersial, biaya ini biasanya tidak diperhitungkan dalam laporan keuangan, sehingga tidak mencerminkan dampak sesungguhnya dari operasi bisnis. Untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, konsep triple bottom line menggabungkan profit, planet, and people dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.. Dengan demikian, Green Accounting membantu perusahaan tidak hanya mematuhi regulasi lingkungan, tetapi juga meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya jangka panjang melalui pengelolaan sumber daya yang lebih baik serta dapat mengakibatkan kinerja keuangan Perusahaan meningkat. Di sisi lain, pemerintah juga harus gencar dalam mewujudkan regulasi dan kesadaran dari Masyarakat atau pelaku usaha untuk menerapkan green accounting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H