Penegakan HAM di Indonesia, walaupun masih banyak terjadi kasus pelanggaran HAM mulai dari yang ringan hingga berat dan mekanisme penyelesaiannya kurang baik, namun secara umum perkembangan dan penerapannya sudah mulai menunjukkan kemajuan akhir-akhir ini. Hal ini ditunjukkan melalui adanya ketentuan hukum tentang hak asasi manusia melalui peraturan hukum dan pembentukan pengadilan hak asasi manusia untuk menangani berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi.
Namun, bahkan dalam hal penegakan hukum, peran penegak hukum dalam menegakkan peraturan sering kali digantikan oleh prosedur. Hal-hal tersebut juga tidak dapat dipisahkan, karena untuk menegakkan hak asasi manusia, penegakan hukum sangat diperlukan. Ada 3 (tiga) hal yang dibahas dalam artikel ini. Pertama terkait dengan pelaksanaan dan penegakan HAM di Indonesia, keterhubungan antara HAM dengan Demokrasi dan upaya-upaya penyelesaian dalam kasus HAM di Indonesia.
Pelaksanaan dan Penegakan Hak Asasi Manusia Di IndonesiaÂ
Â
Ketentuan HAM dalam UUD NRI 1945 merupakan basic law adalah norma hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara.Hakikat HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh yang memberikan perlindungan terhadap kemanusiaan (martabat manusia) dan berfungsi untuk mengawal hak dasar (legal rights). Oleh karena itu, di sini posisi Hak Asasi Manusia adalah norma hukum tertinggi sebagai fungsi kontrol terhadap undang-undang. Untuk itu, pertama-tama yang akan dijelaskan terlebih dahulu adalah terminologi yang biasanya dipergunakan dalam tradisi akademik tentang sebutan HAM. Selanjutnya penulis menguraikan konsepsi tentang HAM yang tumbuh dan berkembang di kalangan sejarawan Eropa serta menjelaskan HAM di Indonesia.
Pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia telah ada sejak di sahkannya Pancasila sebagai dasar pedoman negara Indonesia, meskipun secara tersirat. Baik yang menyangkut mengenai hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, maupun hubungan manusia dengan manusia. Hal ini terkandung dalam nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila yang terdapat pada pancasila. Dalam Undang- Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa. Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur mengenai Hak Asasi Manusia.
Isi undang-undang ini tentunya harus sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat dan perkembangan hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penerapan HAM di Indonesia dinilai belum baik Selesai. Kasus-kasus yang terjadi di Indonesia seperti pemerintahan Aceh, Timor Timur, Maluku, Poso, Papua, Semanggi dan Tanjung Priok dinilai kurang dilaksanakan dalam perlindungan hak asasi manusia. Menjamin perlindungan hak asasi manusia dan menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan penegakan hak asasi manusia.
Pemerintah telah mengambil langkah-langkah antara lain:
- Pembentukan Komite Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993, kemudian dikukuhkan kembali dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
- Putusan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;
- Mendirikan pengadilan khusus hak asasi manusia melalui keputusan presiden untuk meninjau dan mengadili kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000;
- Membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai alternatif penyelesaian pelanggaran HAM di luar Pengadilan Hak Asasi Manusia, sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang Hak Asasi Manusia;
- Ratifikasi berbagai konvensi internasional tentang hak asasi manusia
Sedangkan konvensi terkait pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia yang telah diratifikasi adalah:
- Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 (diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 59 tahun 1958);
- Konvensi tentang Hak Politik Kaum Perempuan (diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 68 tahun 1958);
- Konvensi tentang Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap Perempuan (diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 1984);
- Konvensi tentang Hak Anak ( diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 36 tahun 1990);
- Konvensi tentang Pelarangan, Pengembangan, Produksi, dan Penyimpanan senjata biologis dan beracun serta Pemusnahannya (diratifikasi dengan Keppres nomor 58 tahun 1991);
- Konvensi Internasional terhadap Apartheid dalam Olahraga (diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 48 tahun 1993);
- Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia (diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 5 tahun 1998);
- Konvensi Organisasi Buruh Internasional nomor 87 tahun 1998 tentang kebebasan berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi (diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 83 tahun 1998);
- Konvensi tentang Penghapusan semua bentuk Diskriminasi Rasial (diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 29 tahun 1999);
- Konvensi tentang Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah Tangga).
Pembentukan pengadilan HAM bertugas menyelesaikan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dalam hal ini adalah kejahatan genosida yaitu penghancuran atau pemusnahan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan melakukan perbuatan membunuh anggota kelompok. Mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok.Menciptakan kondisi kehidupan yang bertujuan mengakibatkan kelompok tersebut musnah.Memaksakan tindakantindakan yang bertujuan mengenai kelahiran dalam kelompok tersebut. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
"Ketika pelanggaran atau kejahatan hak asasi manusia amat luas, pengabaian memang seharusnya bukan merupakan pilihan, sekalipun upaya menyelesaikan masa lalu tidaklah sederhana. Di dunia yang sejak Perang Dunia II prihatin dengan penyebaran demokratisasi dan penghormatan terhadap martabat manusia, dalam proses panjang membela keadilan dan kepentingan politik di antara masa transisi, melahirkan apa yang disebut Tina Rosenberg sebagai revolusi besar. etika dunia, politik dan filsafat berabad-abad."