Mohon tunggu...
Shafira Yuna Azzahra
Shafira Yuna Azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - A Film and Television student of Universitas Pendidikan Indonesia

Film and TV student

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Belajar dari Kematian: Sebuah Perspektif dari Pengurus Makam

12 April 2021   09:57 Diperbarui: 12 April 2021   10:07 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kematian seseorang memang suatu tragedi dalam hidup. Setiap orang membutuhkan waktu untuk bisa bangkit lagi dari kesedihan tersebut dan waktu ini bisa bermacam-macam untuk setiap orang; ada yang mungkin seminggu sudah bisa melepas kepergiannya dan ada juga yang mungkin butuh bertahun-tahun lamanya. Namun yang pasti, seseorang harus dapat bangkit kembali untuk menjalani kehidupan mereka kembali secara maksimal.

Pada hari Jumat terakhir sebelum bulan Ramadhan tiba, kami bertemu dengan Pak Deden, seorang pengurus makam di kota Cimahi. Sebagai seorang yang sehari-harinya--selama 20 tahun terakhir--di kelilingi oleh suasana berduka, ia paham betul kesedihan yang dialami mereka yang ditinggalkan oleh orang-orang tercintanya. Saat ditanya bagaimana rasanya melihat orang-orang yang berduka tersebut, Pak Deden menjawab, "Rasanya seperti keluarga kita kalau ditinggalkan". Ia juga memberi penjelasan bahwa rasanya begitu dekat apalagi mengingat peristiwa yang dialami dirinya sendiri saat Ibu, Ayah, Mertua, dan juga istri beliau yang sudah tiada.

Setelah lama bercakap, Pak Deden mengatakan, "Istilahnya kita semua yang masih hidup itu masih 'CaMat'---Calon Mati. Mungkin kita juga kapan, mau besok, atau lusa... Kita semua akan ikut meninggal. Jadi ya, kita sebagai yang hidup jangan selalu sedih". Ia membagikan perspektifnya akan hidup bahwa manusia harus tetap menjalani kehidupannya di atas kesedihan itu dimana menurut Pak Deden, "Yang sekolah harus tetap sekolah, yang kerja atau mungkin seorang ibu harus tetap mengurus anaknya. Kalau mau ikut sedih terus mau gimana?.

Pak Deden juga lalu memberi nasehat untuk semua orang yang masih hidup untuk menjalani kehidupannya dengan maksimal, terutama dalam menjaga hubungan terhadap sesama manusia. Pak Deden berbagi pengalamannya selama bekerja, "Orang yang tidak bermasyarakat biasanya yang datang cuma 5 orang, kalau yang banyak mah mobil juga sampai macet semua". Ia mengaku merasa sedih melihat nasib mereka yang tidak banyak didatangi makamnya. Karena ia berpendapat bahwa semakin banyak yang datang akan semakin banyak mereka yang mendoakan karena itulah hal yang kita semua--manusia yang masih hidup--dapat lakukan terhadap mereka yang sudah pergi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun