Mohon tunggu...
Shafira Putri Charnita
Shafira Putri Charnita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Psychology Student

INFJ-T

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Adiksi Rokok terhadap Pengelolaan Stres

7 Maret 2023   06:00 Diperbarui: 7 Maret 2023   06:36 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kebiasaan merokok sudah menjadi masalah kesehatan utama yang terjadi di berbagai negara. Meskipun perokok sadar bahwa rokok memiliki efek samping negatif yang ditawarkan, rokok tetap banyak dibeli karena dianggap sebagai salah satu jalan keluar permasalahan. Orang yang sedang berada di bawah tekanan atau stres seringkali menjadikan rokok sebagai pelarian dan penenang mereka. Kemudahan dalam membeli rokok pun menjadikan alasan mengapa rata-rata orang di dunia memiliki kebiasaan merokok ini.

Dalam ilmu psikologi, stres adalah perasaan tertekan dan ketegangan mental. Menurut Falsetti, Monier, dan Resnick (2005), stres adalah pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang disertai dengan perubahan fisologis dan perubahan perilaku. Setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi tekanan. Rokok sering dijadikan sebagai bentuk coping atau usaha individu untuk bereaksi terhadap kesulitan yang dihadapi. Coping yang negatif akan menjadi kebiasaan ketika dihadapkan dengan tekanan.

Orang yang mula-mula mencoba rokok memiliki kemungkinan besar untuk meneruskan perilaku merokok tersebut ketika telah mendapatkan ketenangan dari menghisap rokok. Adiksi merupakan suatu kondisi ketergantungan fisik dan mental terhadap hal-hal tertentu yang menimbulkan perubahan perilaku bagi orang yang mengalaminya bahkan sampai hal tersebut dapat merugikan (Roger & McMillins, 1991). Seorang adiksi memiliki perasaan yang sangat kuat terhadap sesuatu yang diinginkannya itu, misalnya siswa yang sedang mengikuti pelajaran rela bolos kelas hanya karena ingin merokok. Pecandu mengetahui konsenkuensi negatif dari aksi bolos kelasnya tersebut, tetapi ada dorongan dalam dirinya yang menggebu-gebu seolah tidak bisa lepas dari sebatang rokok.

Ketergantungan terhadap perilaku merokok disebabkan oleh kenikmatan yang ditawarkan zat nikotin. Zat nikotin akan meningkatkan dopamin atau hormon kebahagiaan yang berfungsi membantu memperbaiki suasana hati dan menimbulkan rasa puas. Perasaan puas yang dihasilkan rokok ini tidak bertahan lama, begitu selesai merokok, mereka akan merokok lagi untuk mencegah agar stres tidak terjadi lagi. Rokok dapat diibaratkan sebagai reward (ganjaran) bagi pengonsumsinya. Mereka mengandalkan rokok ketika sedang berada dalam suatu tekanan karena sudah merasakan kepuasan dari menghisap rokok. Ketika keinginan untuk merokok sedang tinggi, mereka akan mengusahakan cara apapun untuk mendapatkan rokok. Hal ini disebabkan oleh zat nikotin yang bersifat sifat yang adiktif, jika dihentikan secara tiba-tiba akan menimbulkan perasaan tidak nyaman. Orang yang adiktif membutuhkan waktu untuk benar-benar lepas dari kebiasaan merokok ini.

Ketika berhenti merokok, umumnya mereka merasakan berbagai keluhan seperti sulit berkonsentrasi, gangguan tidur, pusing, hingga kecemasan dan depresi. Hal ini disebabkan oleh reaksi tubuh yang sedang beradaptasi tanpa keberadaan nikotin. Keluhan ini hanyalah bersifat sementara dan akan hilang dari sistem tubuh dalam rentang waktu 1-10 hari sejak berhenti merokok. Rasa marah, mudah tersinggung, frustasi kerap dirasakan ketika melepaskan rokok karena tubuh sedang berusaha melepaskan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan bagian dari hari-hari mantan perokok tersebut.

Langkah awal yang dilakukan ketikan ingin berhenti dari rokok adalah mengetahui alasan mengapa harus berhenti merokok. Menetapkan alasan dapat menjadi motivasi agar lebih mudah berhenti dari kebiasaan buruk ini. Meskipun berat, mendisiplinkan diri untuk tidak merokok saat stres adalah langkah yang tepat. Ketika stres, sebaiknya alihkan dengan hal-hal yang bermanfaat seperti berolahraga, meditasi, hingga konsultasi ke tenaga profesional ketika dirasa butuh bantuan. Hormon kebahagiaan atau dopamin yang dihasilkan dari melakukan kegiatan berolahraga jauh lebih bertahan lama dan bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Namun, cara-cara berhenti merokok ini disesuaikan kembali dengan cara yang sesuai dengan diri masing-masing.

Dalam menghadapi suatu tekanan atau stres, individu perlu pengelolaan emosi yang baik. Pengelolaan emosi yang baik dapat dilakukan dengan mengenali emosi diri lebih dalam. Misalnya ketika sedang stress, maka akui saja jika sedang tidak baik baik saja. Telusuri apa yang membuat diri tertekan dan mulai menerima hal tersebut secara perlahan. Dengan mengenal emosi diri sendiri, baik positif maupun negatif akan membawa dampak positif seperti mengurangi stress, masalah cepat terselesaikan, dan terhindar dari penyakit terutama psikis. Jadi, daripada berusaha mengubah emosi yang dialami seperti menggunakan rokok, cobalah untuk mempertimbangkan terlebih dahulu bagaimana anda akan merespon situasi tersebut.

Kesimpulan
Pengelolaan emosi negatif dengan rokok akan jauh lebih merugikan karena sifat ketenangan yang diberikan rokok hanya berlangsung sementara. Rokok tidak akan menyelesaikan masalah, namun hanya memberikan masalah baru seperti kesehatan organ dalam, ketergantungan, dan sebagainya. Maka dari itu, pengelolaan stres yang baik dibutuhkan dalam menghadapi situasi yang tidak nyaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun