Mohon tunggu...
Shafira Ainurrafa
Shafira Ainurrafa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Biasa

Setelah kuliah di Jurnalistik, ketertarikan pada menulis mulai berkurang. Namun, saya tidak punya pilihan selain menggeluti bidang ini karena menulis adalah dasar dari Jurnalistik itu sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjadi Sedikit Lebih Peka dengan Lingkungan Sekitar

26 Desember 2022   15:24 Diperbarui: 26 Desember 2022   16:00 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Dan Meyers on Unsplash   

Meskipun Hari Kesehatan Mental telah berlalu, diharapkan semangat masyarakat untuk tetap sadar akan kesehatan mental dapat terus ada sampai kapanpun. Namun, tidak mudah untuk menghadirkan kesadaran masyarakat akan kesehatan mental. Terkadang, rasa sadar itu baru hadir ketika ada suatu kejadian buruk yang berkaitan dengan kesehatan mental. 

Kurangnya kesadaran soal kesehatan mental dan keinginan untuk mengobati diri sendiri itu adalah karena masih adanya persepsi negatif dari masyarakat tentang orang-orang yang pergi ke psikolog dan psikiater. Ada orang-orang yang masih menganggap bahwa menemui psikolog atau psikiater berarti orang tersebut memiliki gangguan kejiwaan dan seringkali dicap negatif.

Menurut data dari WHO pada 2019, rasio bunuh diri di Indonesia adalah sebesar 2,4 per 100 ribu penduduk per tahunnya atau lebih tepatnya 2 orang melakukan bunuh diri dari 100 ribu jiwa per tahunnya di Indonesia. Angka rasio tersebut adalah angka dari kasus yang terjadi pada pria dan wanita. Apabila hanya dilihat sesuai dengan jenis kelaminnya, pria memiliki angka rasio bunuh diri lebih tinggi dibandingkan wanita, yaitu sekitar 3,7 dari 100 ribu orang.

Tingkat kasus bunuh diri Indonesia memang relatif rendah dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya, tetapi bukan berarti masyarakat ataupun pemerintah bisa lengah dalam membangun kesadaran akan kesehatan mental. Kesadaran masyarakat akan kesehatan mental adalah hal yang penting sehingga tidak boleh diabaikan begitu saja karena bisa saja dari kurangnya kesadaran itu akan muncul korban. 

Kesadaran akan kesehatan mental ini harus terjadi di seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali mahasiswa yang semakin ke sini, semakin melek dengan kesehatan mental mereka sehingga sudah banyak dari mereka yang mencoba untuk mencari bantuan.

Kasus bunuh diri mahasiswa UGM pada bulan Oktober lalu mungkin adalah satu kasus di antara kasus-kasus bunuh diri mahasiswa lainnya di di Indonesia. Sudah sejak lama, kasus bunuh diri mahasiswa adalah kasus yang tidak pernah mudah hilang menjadi buah bibir masyarakat mengingat bagaimana mahasiswa rentan untuk terkena masalah kesehatan mental. Sebagian besar alasan dibalik masalah itu adalah tekanan akademik. Mereka kesulitan untuk mencari bantuan dan jika adapun bantuan yang diberikan, belum bisa memastikan bahwa mereka dapat menggunakan fasilitas tersebut dengan baik.

Semakin ke sini, setiap perguruan tinggi telah mengusahakan untuk menyediakan layanan konseling bagi mahasiswa mereka. Namun, itu bukan berarti setiap mahasiswa mendapatkan kesempatan untuk dapat memanfaatkan layanan tersebut. Seringkali ada kendala dalam penggunaan layanan konseling yang disediakan oleh kampus. 

Terkadang psikolog yang disediakan oleh kampus tidak sesuai dengan jumlah mahasiswa yang mengantri untuk mendapatkan layanan konseling atau ketidaknyamanan mahasiswa untuk bercerita karena mungkin psikolog yang disediakan kurang memumpuni. Selain itu, kurangnya psikolog dan psikiater yang memumpuni membuat jumlah mereka sekarang tidak cukup untuk melayani banyaknya masyarakat Indonesia.

Menurut data tahun 2021 yang diucapkan oleh Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kemensos Harry Hikmat, jumlah psikolog dari data ikatan psikolog kurang lebih hanya 11.500. Angka tersebut jauh berbeda jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Dengan begitu, diperlukan keseriusan untuk terus menambah tenaga psikolog yang profesional dan berkualitas.

Bahkan ketika fasilitas sudah memumpuni di lingkungan kampus, seringkali masyarakat di sekitar memiliki persepsi negatif terhadap orang-orang yang mau pergi menemui psikolog atau psikiater. Dengan begitu, niat untuk mencari bantuan terkadang diurungkan karena ia dianggap "gila." Terkadang ada juga yang meremehkan dan menganggap hal tersebut adalah hal yang sepele sehingga diabaikan atau diberikan solusi yang tidak begitu berguna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun