Korupsi di Indonesia sudah seperti cerita lama yang terus diulang. Tapi setiap kali kasus baru muncul, kita tetap dibuat terkejut, geram, bahkan bingung. Begitu pula dengan kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah yang melibatkan Pengusaha Harvey Moeis Harvey Moeis telah merugikan negara hingga Rp300 triliun, baru-baru ini menjadi sorotan publik. Tapi yang lebih menghebohkan adalah putusan hukuman penjaranya: Harvey Moeis hanya dipidana 6,5 tahun. Angka itu, bagi banyak orang, terasa seperti sebuah lelucon di tengah skandal besar yang dampaknya begitu luas bagi negara dan masyarakat. Bagaimana mungkin kejahatan dengan skala sebesar ini dijatuhi hukuman yang terlihat begitu ringan? Kalau mau membahas ini, kita perlu melihatnya dari berbagai sisi---hukum, sosial, hingga kebijakan publik.
Korupsi selalu menjadi momok di negeri ini. Tapi ketika vonis seperti ini dijatuhkan, kita tidak hanya bicara soal satu individu atau satu kasus, melainkan tentang sistem yang melahirkan dan memelihara ketidakadilan. Dari perspektif hukum, hukuman 6,5 tahun untuk kerugian sebesar itu jelas menimbulkan pertanyaan besar. Dalam prinsip hukum pidana, ada istilah proporsionalitas, yang berarti hukuman harus sebanding dengan kejahatan yang dilakukan. Apakah vonis ini mencerminkan prinsip itu? Sulit untuk berkata iya. Bahkan, masyarakat awam pun bisa dengan mudah melihat bahwa hukuman ini tidak masuk akal dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan.
Lalu, ada argumen soal efek jera. Hukum pidana tidak hanya dimaksudkan untuk menghukum pelaku, tetapi juga untuk memberikan pesan kepada masyarakat bahwa kejahatan akan mendapatkan ganjaran setimpal. Dalam kasus Harvey Moeis, hukuman ini justru seperti memberikan pesan sebaliknya. Seolah-olah, korupsi dengan jumlah besar hanya akan mendapatkan hukuman ringan. Apa yang bisa kita harapkan dari masyarakat ketika mereka melihat bahwa mencuri uang negara dalam jumlah besar saja tidak dianggap serius oleh sistem hukum ?
Dari sisi sosial, dampak dari kasus ini jauh lebih dalam daripada sekadar angka di pengadilan. Kerugian Rp300 triliun bukan hanya soal uang. Itu adalah dana yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun infrastruktur, memperbaiki sistem pendidikan, menyediakan layanan kesehatan, atau membantu mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan kata lain, korupsi ini merampas masa depan jutaan orang. Ketika hukuman yang dijatuhkan tidak mencerminkan besarnya kerugian ini, rasa keadilan publik pun terguncang. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum semakin terkikis.
Lebih parah lagi, vonis seperti ini menciptakan preseden buruk. Pelaku kejahatan lainnya bisa merasa bahwa mereka juga akan mendapat perlakuan ringan jika tertangkap. Bagaimana mungkin kita bisa memberantas korupsi jika hukuman terhadap pelaku besar saja tidak memberikan efek jera? Ini adalah lingkaran setan yang jika tidak segera diatasi, akan terus memperburuk kondisi bangsa ini.
Kemudian, dari sisi kebijakan, kasus ini menunjukkan bahwa reformasi sistem hukum kita masih jauh dari selesai. Penegakan hukum di Indonesia sering kali terlihat seperti pisau bermata dua: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Pelaku-pelaku kecil sering kali dihukum berat, sementara mereka yang berada di puncak kekuasaan atau memiliki koneksi kuat tampaknya bisa lolos dengan hukuman ringan. Hal ini bukan hanya masalah penegakan hukum, tetapi juga kebijakan yang tidak konsisten dalam menangani kasus besar seperti korupsi.
Mungkin ada yang bilang bahwa hukuman ini sudah sesuai dengan aturan yang ada. Tapi jika aturan itu sendiri tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat, bukankah itu berarti ada yang salah dengan sistem kita? Hukum seharusnya tidak hanya menjadi instrumen untuk menghukum, tetapi juga untuk melindungi kepentingan masyarakat dan memastikan keadilan ditegakkan. Dalam kasus ini, sulit untuk mengatakan bahwa keadilan benar-benar terwujud.
Apa yang bisa kita pelajari dari kasus ini ? Pertama, kita harus mengakui bahwa sistem hukum kita masih memiliki banyak kelemahan yang perlu diperbaiki. Kedua, masyarakat harus terus bersuara dan menuntut transparansi serta akuntabilitas dalam setiap proses hukum, terutama dalam kasus besar seperti ini. Ketiga, perlu ada reformasi kebijakan yang memastikan bahwa hukuman terhadap koruptor benar-benar memberikan efek jera, baik kepada pelaku maupun calon pelaku lainnya.
Pada akhirnya, kasus Harvey Moeis ini adalah cermin dari betapa kompleksnya masalah korupsi di Indonesia. Ini bukan hanya soal satu orang atau satu kasus, melainkan soal sistem yang selama ini membiarkan ketidakadilan terus terjadi. Hukuman 6,5 tahun untuk kerugian Rp300 triliun adalah sebuah tamparan keras bagi kita semua, terutama bagi mereka yang masih berharap bahwa keadilan bisa ditegakkan di negeri ini. Jika kita tidak segera bertindak untuk memperbaiki sistem, maka kasus seperti ini hanya akan menjadi satu dari sekian banyak kisah suram dalam sejarah hukum Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H