Saya masih ingat ketika dulu masih kecil ke Lombok menjenguk kakek dan nenek, Lombok menjadi tempat yang ramah dengan kesederhanaannya. Aku selalu ingat kalau setiap kali turun dari bus, banyak orang yang mengerubungi kami menawarkan ojek ataupun angkutan. Ibuku yang orang asli Lombok sudah biasa dengan keadaan ini sehingga bisa mengatasinya meski kami tidak bersama Bapak yang sibuk bekerja. Dengan bahasa sasaknya, ibu menolak mereka dengan tegas. Biasanya kalau tahu orang sasak, suku asli Lombok, para kondektur bus dan orang yang menawarkan bantuan membawa barang akan mundur. Kejadian itu pun masih sampai sekarang, tapi sepertinya tak seperti dulu. Atau mungkin karena aku sudah terbiasa dengan semua ini dan bisa mengatasinya meski harus mondar-mandir Lombok-Jawa sendiri meski orang-orang itu memaksa.
Selain calo, banyak kondektur angkutan yang masih kecil-kecil di pulau ini. Awalnya aku heran dengan mereka yang tidak sekolah, tapi malah menjadi kondektur angkutan ataupun kusir cidomo. Kata ibuku, kepedulian mereka akan sekolah formal masih kurang selain juga kebutuhan ekonomi keluarga yang menuntut mereka untuk bekerja membantu mencari penghasilan untuk orang tuanya. Kebanyakan mereka yang bekerja di usia dini sudah tak memiliki salah satu atau bahkan kedua orang tua mereka dan hal itu biasa di pulau ini. Yang penting mereka memiliki pendidikan agaman, pendidikan seperti sekolah tak terlalu dianggap penting apalagi harus mengeluarkan biaya yang tak sanggup mereka bayar.
Dari sekian banyak keherananku tentang masyarakat pulau ini, ada yang membuatku kagum ketika itu. Pulau yang masih ramah dan sejuk ini tak kutemukan seorang pengemis pun. Ketika di pulau tempatku tinggal banyak sekali pengemis beredar bahkan sampai masuk ke kampung-kampung, di Lombok tak pernah kutemui. Itu dulu sepuluh sampai lima belas tahun yang lalu seingatku. Pulau ini bersih dari mereka yang meminta-minta. Semuanya bekerja untuk mendapatkan uang, tidak ada orang yang malas. Bahkan nenek-nenek renta pun berjualan apa yang ada untuk mendapatkan uang. Tak ada peminta-minta ataupun pengamen yang kutemui selama naik angkutan dan berkeliling pulau ini.
Berbeda dengan sekarang, pulau yang terkenal dengan keindahan alamnya ini sudah semakin ramai apalagi di Mataram, pusat pemerintahannya. Semakin banyak pengemis dan pengamen mulai dari anak-anak sampai orang dewasa dengan berbagai kondisi. Pinggiran lampu merah penuh dengan pengamen dan pengemis, pusat pertokoan berderet pengemis duduk berjajar dan tak sedikit yang membawa anak kecil untuk memancing belas kasihan orang-orang. Sedih melihat keadaan seperti ini yang sudah sampai di kota kecil di Lombok Timur. Lombok sudah tak lagi indah, tak lagi ramah dan tak lagi lugu. Tak ada bedanya dengan Jawa, segala cara dilakukan untuk mendapat uang. Kebutuhan atau kemalasankah ini?
Selain itu, ada satu lagi yang membuatku benar-benar miris. Ketika menghadiri sebuah undangan pernikahan bersama suami, ada segerombolan anak kecil yang berdiri di samping tempat duduk tamu undangan. Anak-anak kecil itu mengamati kami yang sedang makan dengan pakaian biasa (maksud saya, bukan seperti anak orang yang diajak orang tuanya menghadiri undangan). Mereka menggunakan baju main biasa yang sedikit kotor. Saat aku menaruh piring bekas makan di bawah kursi, tiba-tiba seorang anak mendesak kursiku mengambil potongan udang yang tak kuhabiskan karena eneg dari piring itu lalu memasukkannya ke kantong plastik. Deg! ada sebuah kekagetan sekaligus kasihan yang muncul di benakku. Kuamati mereka yang berdiri tak jauh dariku mengamati tamu undangan yang lain. Mereka mendekati tamu yang baru saja menyuap nasi untuk meminta lauk yang ada di piring mereka. Kasihan itu berbalik pada kekesalan, kenapa anak sekecil mereka harus menjadi seperti itu? Tak mungkin kalau mereka melakukannya tanpa ada yang menyuruh atau memberinya contoh.
Media adalah satu-satunya contoh yang paling logis atas tingkah laku mereka. Banyak tayangan yang membuat mereka meniru tingkah laku yang tak mereka ketahui sebelumnya. Kasihan anak-anak itu menjadi korban tayangan yang tidak mendidik. Tak seharusnya masa kecil mereka yang seharusnya banyak bermain justru harus terenggut dengan menjadi pengemis, pengamen dan pemulung di pulau yang masih ramah ini. Masih banyak orang yang mau memberi dan membantu orang lain apalagi anak yatim piatu. Banyak dermawan yang menyantuni anak yatim secara rutin bersedia menyekolahkan dan memberi makan kepada mereka.
Namun, sayangnya tak semua yang melakukan itu anak yatim piatu yang membutuhkan uang untuk kebutuhan hidup mereka, tapi anak-anak yang memiliki orang tua utuh yang tak bisa memenuhi kebutuhann keluarganya. Memanfaatkan keluguan anak-anak untuk mencari keuntungan karena tak mau bersusah payah mencari pekerjaan yang layak untuk menghidupi keluarganya. Fenomena menikah muda menjadi kebiasaan penduduk yang tinggal di desa dengan tingkat pendidikan yang kurang. Tak sedikit dari mereka yang menikah tanpa memiliki pekerjaan dan hidup sebagai pekerja serabutan bahkan sampai memiliki anak mereka tak bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Mencontoh dari media yang mereka lihat bagaimana cara orang mencari uang, mereka pun meniru tanpa memikirkan dampak bagi anak-anak mereka.
Anak-anak kecil yang sedang meminta ayam goreng milik tamu undangan yang sedang menyuapi anaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H