Saat Simbah masih sehat, beliau banyak cerita tentang zaman penjajahan. Beliau saat itu memang tidak ikut berjuang karena masih remaja, tapi beliau merasakan bagaimana harus mengungsi, bagaimana rumahnya yang dijadikan markas pejuang kemerdekaan harus di bom oleh Jepang, bagaimana  beliau terpisah dari keluarganya hingga cerita beliau harus terpisah dari keluarganya selama 14 tahun karena dituduh PKI. Surat keterangan beliau bukan PKI baru keluar saat semua memang harus dipulangkan.Â
Bagi kami, beliau adalah pahlawan. Pahlawan bagi kami dengan segala kesulitan beliau, tapi tetap bersyukur. Beliau tidak pernah mengeluh dan tak penah menceritakan kesulitan beliau saat di pengasingan di Pulau Buru hingga beliau terkena Malaria. Mbah Kakung lebih suka bercerita yang memiliki manfaat dan membangun optimisme daripada menceritakan kesulitan dan kesusahan. Meski tidak berpendidikan tinggi, kecerdasan beliau terlihat dari ingatan yang tajam dan suka membaca banyak hal. Beliau masih ingat tulisan Jepang yang diajarkan saat beliau sekolah zaman penjajahan Jepang.
Mbak Kakung adalah sosok yang pendiam. Beliau memiliki jadwal yang sangat teratur. Sejak bangun tidur, sholat Subuh lalu ke sawah. Saat beliau sudah tidak kuat pergi ke sawah, kebun belakang rumah menjadi tempat beliau beraktifitas agar tetap bergerak. Jam 10 pagi, beliau sudah pulang ke rumah untuk sarapan dan menyeruput kopi yang sudah disiapkan Simbah Putri.
Setelah istirahat sebentar, Simbah Kakung membantu Simbah Putri di dapur kayu. Beliau memadatkan serbuk gergaji di tungku kayu yang akan digukanan untuk menggoreng keripik singkong dan membuat ubi goreng pedas yang sudah lama dijual Simbah Putri sejak ditinggal Simbah Kakung ke pengasingan. Meski sudah memiliki anak-anak yang mapan, tapi beliau tidak mau berhenti berdagang agar tetap memiliki kegiatan yang bermanfaat.
Bapak memberi syarat tidak boleh terlalu capek dan semampunya saja. Mungkin beliau ingin lebih bebas memiliki uang untuk membeli apa yang beloa mau meski anak-anaknya saling membantu mencukupi kebutuhan mereka berdua. Orang tua mandiri yang tak pernah mau merepotkan anak-anaknya. Mereka berdua bersama mengerjakan apa yang mereka sukai. Sesekali Simbah putri ikut ke sawah dan membawa makanan saat menanam atau panen. Namun, saat panen agak banyak, kami pun ikut membantu. Tidak luas memang, tapi cukup untuk menjadi kegiatan bermanfaat Simbah. Sawah menjadi tempat favorit Simbah mengerjakan semua yang beliau suka. Sesederhana itu mereka ingin tetap berkarya di masa tua setelah banyak waktu mereka terlewat karena kehendak Allah.
Simbah Kakung tak pernah menceritakan ketidaknyamanan dan kesengsaraan. Beliau menceritakan pada kami segala hal baik untuk kami ambil hikmanya. Bahkan, kami tahu betapa beliau sangat menderita di pengasingan di Pulau Buru diperlakukan tidak seperti manusia justru dari tulisan beliau di sebuah buku tulis. Sebuah buku usang diberikan beliau padaku saat beliau sakit. Beliau memintaku membacanya. Tulisan tangan tegak bersambung yang sangat rapi. Ada sepuluh halaman dengan tinta yang sudah mulai merembes membuat kertas putih menjadi agak hitam, tapi masih bisa terlihat jelas tulisan tangan yang rapi itu.Â
Beliau menulis dengan menggunakan Bahasa Jawa. Cerita yang urut dari menceritakan tentang diri beliau sejak kecil hingga beranjak dewasa, masa penjajahan hingga menikah dan akhirnya tanpa beliau ketahui beliau diciduk dengan tuduhan sebagai anggota PKI. Keluarga tak bisa berbuat banyak, hanya bisa pasrah dan menerima keadaan sampai beliau harus diasingkan di Pulau Buru. Bagaimana kecewanya beliau saat tahu bahwa besannya yang justru memberi informasi kalau beliau terlibat padahal beliau hanya sebatas seperti hansip di Desa. Namun, tak banyak yang bisa dilakukan, . Menjalaninya denga ikhlas sambil berdoa untuk yang terbaik menjadi jalan terakhir saat itu. Beberapa langkah sudah dilakukan keluarga untuk bisa meyakinkan kalau beliau tidak bersalah, tapi tidak berhasil.
Simbah Putri dan Simbah Kakung yang dulu menjadi buruh panen padi bersama kini sudah tidak bisa lagi dilakukan. Anak-anak yang sudah sekolah dititipkan pada orang tua dan buleknya. Bapak dititipkan pada orang tua Simbah Kakung sedangkan kakak dari Bapak dititip di Pakleknya yang seorang guru. Sudah biasa dalam keluarga akan saling membantu saat sedang kesusahan. Anak yang lain pun akan dititipkan pada keluarga lain yang lebih mampu saat sudah mulai sekolah karena saat itu Simbah Kakung meninggalkan 5 anak yang tidak mungkin dibiayai sendiri oleh Simbah Putri.
Simbah putri akhirnya berjualan keripik singkong dan ubi oseng pedas untuk mencukupi kebutuhan hidup anak-anak yang masih bersamanya. Selain itu, Simbah putri juga masih menjadi buruh panen padi, tapi tidak jauh. Tidak mudah menghidupi banyak anak sendiri, tapi beliau tak pernah mengeluh. Beliau harus tetap melanjutkan hidup demi anak-anak. Setelah satu per satu bekerja, mereka yang membiayai adik-adiknya untuk bisa tetap bersekolah. Simbah Kakung bahkan sampai 14 tahun harus terpisah dari keluarganya karena hal yang tak pernah beliau lakukan.
Sedang Simbah Kakung menulis di bukunya kalau mas apengasingan itu tidak mudah. Beliau tidak diperlakukan layaknya manusia, tapi beliau tidak pernah menulis detailnya. Beliau hanya menulis cukup beliau yang tahu rasanya bagaimana, sekarang hanya ada rasa syukur karena masih diberi kesempatan berkumpul dengan keluarga meski harus terpisah sangat lama dan melewati masa bersama anak-anak. Beliau bercerita kalau mengalami penyakit malaria dan kenal dengan seorang penulis terkenal saat di pengasingan yang membuka wawasan beliau. Mereka saling membantu sesama orang yang diasingkan, saling mendukung dan berbagi apa yang ada. Mereka ditempatkan di hutan dan dipekerjakan sema mereka tanpa peri kemanusiaan. Namun, Simbah Kakung tidak pernah menceritakan semenderita apa selama disana.
Surat pernyataan beliau tidak bersalah justru keluar saat semua yang diasingkan memang harus dipulangkan. Pengembalian nama baik tak dilakukan, tapi beliau tidak mau mempermasalahkan. Beliau hanya bisa bersyukur masih bisa pulang dengan selamat dalam keadaan hidup. Ada banyak yang tidak bisa pulang karena meninggal tidak kuat dengan perlakuan selama pengasingan. Beliau terus menulis syukur masih bisa pulang dan bertemu keluarga.