Tiga bulan sudah masa dirumah aja untuk mencegah penyebaran virus Covid 19 ini membuat kita semua dirumah aja. Tentu banyak sekali perubahan yang terjadi, terutama bagi ibu yang memiliki anak sudah mulai sekolah. Belajar dari rumah memang awalnya agak merpotkan karena Emak harus banyak adaptasi membagi waktu dan fokus menemani si kecil belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah. Apalagi bagi yang masih punya bayi seperti Emak rempong. Saya memiliki satu anak usia 5 tahun 6 bulan dan si bayi umur 20 bulan yang sedang super aktif dan masa tantrum. Kebayang nggak sih Mak kalau mereka sedang sama-sama membutuhkan perhatian dan akhirnya si Mbak yang harus berkorban sedikit mengalah karena si Adek belum mengerti apa yang kita maksud?
Tidak cukup sampai di situ, ada Mbah nya anak-anak yang sakit yang juga membutuhkan perhatian Emak. Repot? Nggak usah ditanya. Tantangan Emak nih untuk bisa mengatur waktu dan membagi fokus jadi banyak. Untung Emak memang terlahir multi tasking, walaupun kadang memang jadi gagal fokus. Awalnya memang terasa berantakan dan tidak ada yang beres dengan memuaskan. Namun, semakin hari Emak belajar untuk menyesuaikan diri dengan semua yang ada di depan mata karena memang manusia diciptakan untuk terus menyesuaikan diri. Emak mulai terbiasa dengan dua bocah yang super rempong dan membagi perhatian dengan membantu mengurus Mbahnya anak-anak. Meningkatkan semangat si Mbak untuk tertib pada jadwal belajar dan mengajarkan belajar mandiri (a.k.a belajar sambil emak nyuci atau kupas sayur).
Semakin hari, pandemi tak kunjung ada titik terang di Lombok. Beberapa daerah sudah mulai menerapkan New Normal karena kasus positif Covid 19 mulai menunjukkan grafik menurun, bahkan ada yang sudah tidak ada kasus baru dalam beberapa hari. Wacana sekolah akan dibuka lagi menjadi kegelisahan. Apalagi sudah memasuki tahun ajaran baru. Emak belum siap melepas anak TK super aktif macam si Mbak ke sekolah. Selain itu, feedback yang diberikan pihak guru setelah memberikan tugas juga tidak ada. Emak berharap setelah tugas diserahkan, guru memberikan arahan atau sedikit memberi evaluasi pada hasil belajar anak. Namun, Emak tahu kalau guru juga mungkin sedang dalam masa adaptasi dengan cara belajar yang baru ini.
Kebetulan di grup bersama teman SMA ada share Seminar tentang pilihan Home Schooling di Masa Pandemi. Seminar Gratis melalui aplikasi Zoom ini di share mendadak beberapa menit sebelum jam meeting dimulai. Untungnya Emak masih sempat ikut karena seat yang disediakan juga terbatas. Pembicaranya ada Kang Ismir, Alumni Informatika ITB 93, Founder Ihsan Solusi Informatik dan Patra, Alumni Sipil ITB 96, Ibu Rumah Tangga dan Wirausaha, Mbak Ida, Alumni Fakultas Pertanian UNTAN 94, Ibu Rumah Tangga & Penulis dengan Moderator Mbak Asanti Alumni Teknik Industri ITB yang sekarang mengajar sebagai Dosen di PTS.Â
Seminar kemarin memberikan gambaran bagaimana mereka yang memilih untuk Home Schooling mengatur jadwal belajar dan memilih kurikulum untuk Home Schooling. Kang Ismir dan Teh Patra memiliki 3 orang putra-putri yang jaraknya tidak terlalu dekat. Mereka memilih home schooling karena merasa pembelajaran di sekolah kurang  bisa memfasilitasi minat dan bakat sesuai kemampuan dan kemauan anak. Mereka merasa kurang fokus saja sehingga mereka memilih untuk belajar di rumah. Kang Ismir dan Teh Patra murni mencari kurikulum dan cara belajar mandiri. Mereka tidak menggunakan jasa lembaga home schooling karena memang saat itu belum banyak ada.Â
Mereka meyakini kalau setiap anak itu unik, setiap anak punya kemampuan belajar dengan caranya sendiri dan setiap anak akan memunculkan kreativitas saat dipicu. Mereka memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk memilih waktu dan cara yang bagi mereka menyenangkan dan lebih mudah untuk bisa memahami.Sebagai orang tua, tentu mereka lebih fokus dalam mengerti minat dan bakat anak. Awalnya memang sulit karena harus menyesuaikan dengan tiga karakter yang berbeda, tapi semakin lama akan semakin terbiasa. Kang Ismir dan Teh patra menggunakan patokan kurikulum nasional dengan mencari proporsi waktu yang dibutuhkan dalam seminggu untuk setiap mata pelajaran. Misalnya, Matematika berapa jam dalam seminggu dan pencapaian apa yang harus didapatkan. Beliau berdua memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk memilih waktu yang mereka sepakati bersama. Putra-putri beliau sudah cukup besar sehingga sudah cukup mengerti tentang kedisiplinan waktu dan belajar mandiri. Saat belajar, mereka bersama berkumpul dalam satu meja, orang tua secara bergiliran mengajarkan yang belum dimengerti anak. Tentu orang tua harus belajar banyak karena tidak semua mata pelajaran dimengerti. Melalui internet dan bertanya kepada beberapa teman yang ahli di bidangnya menjadi senjata saat ada kesulitan.
Memang terlihat merapotkan, tapi saat dijalani dengan ikhlas dan tahu tujuannya, mereka menjalaninya dengan sangat menyenangkan. Mereka bisa tahu minat dan bakat anak sehingga dapat mengembangkannya lebih fokus saat dirumah. Untuk dapat ijazah seperti sekolah formal, mereka harus mengikuti ujian paket yang kedudukannya sama seperti ujian di sekolah formal. Namun, ada beberapa jurusan di Universitas yang tidak menerima ijazah paket. Jadi, kembali kedua orang tua ini menyampaikan pada anak mereka tentang kendala tersebut dan memberikan pilihan untuk masuk sekolah formal atau tetap home schooling dengan konsekuensi tidak bisa kuliah di jurusan yang mereka inginkan. Akhirnya, si Sulung pun ikut sekolah formal karena ia menginginkan jurusan yang hanya boleh mendaftar melalui ujian dengan ijazah sekolah formal. Bisa juga mereka harus memiliki sertifikat Jenius dari UPI.
Kang Ismir dan teh Patra juga memberikan putra-putrinya les tambahan yang mereka sukai. Hal itu untuk menunjang kemampuan mereka yang mungkin kurang bisa dikuasai orang tua untuk mengajarkannya. Tidak hanya les akademik, mereka juga dibebaskan ikut olahraga atau kesenian yang sesuai dengan minat bakat mereka sehingga dapat mengasah kemampuan mereka. Orang tua adalah motor
Selain kedua orang tua hebat itu, ada Mbak Ida yang juga memilih home shcooling karena tinggal di Malaysia. Beliau memilih menggunakan lembaga home schooling yang ada dengan standar yang cukup baik dengan pengantar Bahasa Inggris karena beliau sadar kalau anaknya harus bisa berkomunikasi dengan orang tidak hanya dari Indonesia. Home Schooling yang diikuti memang kebanyakan diikuti oleh anak-anak pendatang yang berasal dari beberapa negara selain Malaysia sehingga pengantarnya Bahasa Inggris. Biayanya pun lumayan mahal, tapi sesuai dengan apa yang mereka dapatkan. Namun, Mbak Ida tetap membiasakan kedua anaknya yang jaraknya tidak jauh itu untuk berahasa Indonesia saat di rumah. Mereka adalah orang Indonesia, jadi harus bisa berbahasa Indonesia agar saat pulang ke tanah air mereka bisa berkomunikasi dengan keluarga.Â
Saat anak-anak Mbak Ida beranjak besar, Mbak Ida memutuskan untuk memasukkan anak-anak di sekolah formal di Malaysia. Mereka yang sduah belajar jauh dibanding standar pengajaran di sekolah formal langsung bisa jadi juara. Namun, kendalanya pada bahasa. Mereka terbiasa menggunakan bahasa Inggris dan tidak mahir bahasa Malaysia. Untungnya wali murid mereka mahir berbahasa Inggris sehingga menerjemahkan yang mereka tidka mengerti dalam Bahasa Inggris. Namun, seiring berjalan waktu, anak-anak mudah beradaptasi dengan bahasa sehingga mulai bisa mengikuti pelajaran dengan baik.
Seminar tersebut memberikan gambaran pada orang tua untuk home schooling di masa pandemi seperti ini. Melepaskan anak ke bangku sekolah sepertinya masih belum bisa menjadi pilihan, apalagi masih TK atau SD. Sekarang banyak sekali lembaga home schooling berbayar yang menyediakan paket kurikulum yang menarik. Tidak perlu mendatangkan guru atau ke tempat les, tapi bisa lewat belajar online. Membayar untuk kurikulum, lalu mengirim tugas via online, melakukan tatap muka online untuk konsultasi dan juga video tutorial untuk beberapa materi ajar. Ada beberapa lembaga yang sudah ada untuk fasilitas ini.Â