Mentari sore mulai meredup, menyapa langit dengan warna jingga lembut. Di rumah kecil kami, aroma rempah-rempah sudah mulai memenuhi udara. Bunda, dengan cekatannya, mengulek cabai hijau dan bawang merah di cobek, wajahnya berbinar-binar. Di sampingnya, Abang sibuk mengiris ayam, gerakan tangannya lincah dan terampil.Â
Aku, si bungsu, bertugas menata meja makan dengan lilin kecil dan bunga kertas warna-warni. Malam ini, kami akan merayakan kepulangan Ayah, yang telah dua bulan berada di luar kota. Â
"Bunda, yakin ayamnya cukup?" tanyaku, menatap tumpukan ayam yang sudah dipotong-potong. Â
"Cukup, sayang. Kita kan cuma berempat," jawab Bunda sambil tersenyum. "Lagipula, Abang sudah janji mau masak ayam lado hijau. Pasti enak!" Â
Abang, yang sedang sibuk menggoreng ayam, mengangkat kepalanya. "Tenang, Dek. Aku sudah belajar dari Bunda. Ayam lado hijaunya pasti juara!" Â
Aku mengangguk, hatiku berdesir. Rasanya sudah lama sekali kami tidak makan bersama seperti ini. Sejak Ayah pergi, rumah terasa sepi, hanya dihiasi oleh keheningan dan bayangan rindu. Â
"Bahannya sudah lengkap, kan, Bang?" tanyaku memastikan. Â
"Sudah, Dek. Ada ayam, cabai hijau, bawang merah, bawang putih, tomat, lengkuas, jahe, serai, daun jeruk, daun salam, santan, garam, gula, dan penyedap rasa. Semua ada di sini," jawab Abang sambil menunjuk bahan-bahan yang tertata rapi di meja. Â
"Bunda, aku boleh bantu?" tanyaku lagi. Â
Bunda tersenyum. "Tentu, sayang. Kamu bisa bantu potong tomat dan bawang putih." Â
Aku semangat membantu Bunda, meskipun tangan-tanganku masih gemetar karena gugup. Aku ingin sekali membuat Ayah bahagia. Â
"Dek, kamu tahu cara membuat ayam lado hijau?" tanya Abang tiba-tiba. Â
Aku menggeleng. "Tidak, Bang. Aku baru tahu dari Bunda." Â
Abang terkekeh. "Tenang, Dek. Aku akan ajari kamu. Pertama, kita goreng ayam yang sudah dipotong-potong dan dilumuri jeruk nipis dan garam. Setelah itu, tumis bawang merah, bawang putih, lengkuas, jahe, serai, dan daun salam sampai harum. Lalu, masukkan cabai hijau dan tomat yang sudah direbus dan diulek kasar. Tambahkan daun jeruk. Kemudian masukkan ayam, santan, garam, gula, dan penyedap rasa. Masak hingga ayam empuk dan bumbu meresap." Â
Aku mendengarkan dengan seksama, berusaha mengingat setiap langkahnya. Â
"Oh ya, Dek, tahu nggak? Ayam lado hijau ini khas dari Koto Gadang, di Sumatera Barat. Bunda yang cerita," tambah Abang, membuatku menoleh penasaran. Â
"Khas Koto Gadang? Kok aku baru tahu, Bang?" Â
Abang mengangguk. "Iya, katanya dulu masakan ini disajikan untuk acara-acara adat seperti pesta atau pernikahan. Bahannya sederhana, tapi rasanya istimewa karena rempah-rempah lokal. Sekarang, sih, jadi salah satu makanan khas Minangkabau yang terkenal banget." Â
Bunda menimpali sambil tersenyum. "Betul, sayang. Nenek dulu sering masak ini. Yang bikin khas itu perpaduan cabai hijaunya yang segar sama santan yang gurih. Ditambah bumbu yang diulek manual, rasa autentiknya nggak tergantikan." Â
Aku semakin antusias membantu, merasa bangga bisa ikut memasak hidangan dengan sejarah yang kaya ini. Â
"Nanti kalau Ayah pulang, kamu bisa tunjukkan ke dia," kata Abang. "Ayah pasti bangga." Â
Aku mengangguk, senyum merekah di wajahku. Â
"Dek, jangan lupa siapkan minumannya," Bunda mengingatkan. Â
"Siap, Bund!" jawabku. Â
Aku berlari ke dapur, mengambil segelas es teh manis dan menaruhnya di meja makan. Â
"Bunda, aku juga mau belajar masak," kataku. Â
"Nanti Bunda ajari," jawab Bunda sambil tersenyum. Â
Tiba-tiba, suara klakson mobil terdengar dari luar. Â
"Ayah!" teriakku, berlari ke pintu. Â
Ayah keluar dari mobil, wajahnya lelah namun penuh senyum. Ia memelukku erat, mencium keningku. Â
"Ayah pulang, Dek," katanya. "Ayah kangen banget sama kamu, Bunda, dan Abang." Â
Kami makan malam bersama, suasana penuh canda dan tawa. Ayam lado hijau buatan Abang memang juara! Rasa pedas cabai hijau berpadu sempurna dengan gurih santan dan harum rempah. Â
"Enak, Bang! Lebih enak dari yang Bunda buat," puji Ayah sambil tersenyum. Â
Abang tersipu malu. "Makasih, Yah. Aku belajar dari Bunda." Â
Aku melihat Bunda tersenyum bangga. Â
"Dek, kamu tahu cara membuat ayam lado hijau?" tanya Ayah. Â
Aku mengangguk. "Iya, Yah. Abang yang ngajarin." Â
Ayah terkekeh. "Wah, hebat Abang! Nanti kamu ajari Ayah, ya?" Â
Aku mengangguk semangat. Â
Malam itu, kami makan malam dengan penuh kebahagiaan. Ayah akhirnya pulang, dan kami kembali lengkap. Rasa rindu yang selama ini terpendam akhirnya terobati. Â
"Ayah, aku senang Ayah pulang," bisikku sambil menggenggam tangan Ayah. Â
Ayah mencium keningku. "Ayah juga senang sudah pulang, Dek." Â
Aku tahu, malam ini akan menjadi kenangan indah yang akan selalu terukir di hatiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H