Gerakan Satu September Tiga Puluh (Gestapu) atau Gerakan Satu Oktober (Gestok) lebih dikenal masyarakat atas nama Gerakan G30S, mungkin pula dengan embel-embel PKI di belakangnya. Peristiwa mencekam yang menewaskan enam jenderal dan satu letnan itu berhasil menorehkan luka yang sulit disembuhkan oleh beberapa golongan, yang berakhir dengan tersulutnya perang saudara, di mana lebih dari ribuan nyawa rakyat melayang sebagai dampak dari peristiwa yang pelakunya masih berupa teori hingga kini. Pelbagai teori dituliskan dalam bermacam buku, dan tak semuanya sejalan dengan buku yang menjadi acuan pemerintah pada awal mula dulu.
      Dalang-dalang bermunculan, mulai dari presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno, hingga organisasi milik Amerika Serikat, CIA. Namun, demi meningkatkan nasionalisme bangsa, rezim Orde Baru yang saat itu berkuasa memutuskan bahwa mereka seharusnya bersatu untuk memberantas musuh yang sama, yakni Partai Komunis Indonesia, antek-antek, dan ideologinya, komunisme, yang dianggap tidak sejalan dengan Pancasila dan kelak dapat membahayakan kesatuan dan persatuan rakyat Indonesia. Melalui bermacam-macam media, seperti visual, siaran, bahkan tulisan, rezim Orde Baru berusaha untuk menyamaratakan pola pikir bangsa Indonesia. Demi melanggengkan kekuasaan, mereka secara suka rela merekayasa penulisan peristiwa sejarah dan menggunakannya sebagai alat propaganda untuk mencuci otak masyarakat.
Â
PENULISAN PERISTIWA G30S PADA ERA ORDE BARU
      Pada awal ketika bau anyir  Peristiwa 1 Oktober masih sangat tercium di hidung masyarakat, tidak ada buku yang dapat dikatakan membela atau setidaknya tidak menyalahkan Partai Komunis Indonesia yang baru saja dibubarkan dan anggota pun simpatisannya diberantas. Karena sensitif dan segarnya isu saat itu, negara Indonesia yang berubah menjadi negara "anti kiri" mengeluarkan buku-buku yang mendukung pemerintahan saat itu. Buku-buku ini kebanyakan menceritakan tentang kekejaman PKI, tak jarang beberapa di antaranya melebih-lebihkan cerita. Banyak buku-buku terbitan era Orde Baru yang merupakan kesaksian dari orang-orang yang hidup dan melihat bagaimana peristiwa itu terjadi dengan mata kepala sendiri. Buku-buku ini merupakan kisah nyata yang didasarkan dari wawancara atau bahkan hasil tulisan dari para saksi. Dengan Tragedi Nasional: Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia yang merupakan karya dari Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, percobaan untuk mendominasi pikiran masyarakat melalui buku sejarah dimulai. Sesuai dengan judul, buku ini memfokuskan tentang bagaimana Partai Komunis Indonesia adalah pelaku tunggal dari "kudeta" 1965 dan tidak ada pelaku lainnya. Buku dengan sampul putih ini lalu digunakan sebagai buku resmi oleh rezim Orde Baru.
      Bila yang sebelumnya berdasarkan pada bukti dan hukum, maka buku-buku lain yang ditulis sesuai dengan wawancara kepada para korban menyusul. Dalam Teror Subuh di Kanigoro karya Anis Abiyoso dan Ahmadun Yosi Herfanda, diceritakan kembali tragedi yang terjadi pada tanggal 13 Januari 1965, saat matahari belum sepenuhnya terbit di Kanigoro, Kabupaten Kediri. Anis Abiyoso sendiri merupakan panitia dari acara yang saat itu digeruduk oleh anggota Barisan Tani Indonesia dan Pemuda Rakyat, dan kisah yang dialami olehnya pun turut dituliskan dalam buku terbitan 1995 itu. Ada pula karya dari Agus Sunyoto dan kawan-kawan yang berjudul Banser Berjihad: Menumpas PKI terbitan PW.GP Ansor Jawa Timur yang merekam penumpasan anggota-anggota dan simpatisan PKI oleh Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama atau Banser pada tahun 1965.
      Banyak buku-buku lain yang menegaskan hal yang sama dan memperlihatkan ketegangan antara PKI dengan pemilik-pemilik kekuasaan saat itu, seperti Angkatan Darat dan Nahdlatul Ulama. Tulisan-tulisan ini pada umumnya menceritakan Peristiwa G30S dari bermacam sisi, terutama perspektif dari mereka yang dianggap sebagai korban, dan tentunya yang sejalan dengan ideologi Orde Baru kala itu. Tulisan-tulisan yang dihasilkan berhasil memojokkan PKI dan mereka yang dianggap mendukung, sekaligus sebagai alat propaganda dan pembenaran atas penumpasan anggota dan simpatisan PKI yang berhasil melayangkan lebih dari ribuan korban jiwa di Indonesia. Tidak hanya buku yang beredar di publik, tetapi materi-materi di sekolah pun didasarkan pada buku yang dianggap sebagai kisah resmi oleh rezim Orde Baru.
PENULISAN PERISTIWA G30S PADA ERA REFORMASI
      Runtuhnya rezim Orde Baru berarti bebasnya kungkungan pemikiran. Setelah Reformasi 1998 yang mengedepankan demokrasi dan kebebasan berpendapat, secara perlahan tetapi pasti, muncul buku-buku yang mungkin bila diterbitkan pada era sebelumnya akan diberhentikan penyebarannya dan dilarang. Kebebasan ini memberi kesempatan untuk teori-teori yang berlainan dengan buku-buku resmi versi pemerintah tampak di permukaan dan membuka perspektif baru untuk masyarakat. Meskipun tidak dipungkiri bahwa kepercayaan dan teori yang lama masih ada, tetapi pandangan masyarakat terhadap peristiwa G30S tidak lagi hanya melalui satu kacamata saja,
      Salah satunya seperti Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Analisis Awal yang ditulis oleh Benedict R O' G Anderson dan Ruth T. McVey, atau Materialisme Sejarah Peristiwa Gerakan 30 September 1965 milik Harsa Permata, di mana judul yang kedua tidak mengungkapkan fakta-fakta sejarah yang baru ditemukan, melainkan menjabarkan peristiwa G30S melalui perspektif materialisme dialektika historis gaya Marxisme, yang digunakan untuk menyimpulkan hal-hal baru dari fakta yang sudah ada.
      Ada pula karya dari Mohammad Achadi, yakni Kabut G30S Menguak Peran CIA, M16, dan KGB, yang memercikkan pandangan baru kepada masyarakat, bahwa tentu peristiwa ini tak didalangi oleh orang Indonesia sendiri, tetapi juga ada campur tangan organisasi luar di dalamnya. Dalam bukunya, Mohammad Achadi memberikan kesaksiannya sebagai saksi mata sekaligus pelaku sejarah dari Peristiwa G30S, di mana ia pun menurutsertakan kesaksikan-kesaksian lain yang berhasil didapatkan dari pelaku sejarah Peristiwa G30S lainnya.