Pandangan Luas
Palestina dan Israel kerap menjadi topik yang sangat dibahas sampai sekarang, dan bahkan seluruh dunia memperhatikan konflik ini berjalan. Bisa disebut, konflik Palestina dan Israel ini adalah konflik terpanjang dan termasuk kompleks untuk sejarah modern yang menimbulkan penderitaan mendalam bagi kedua pihak. Konflik ini dimulai dari tahun 1948 dimana penduduk palestina diusir secara massal oleh Israel. Peristiwa ini disebut oleh masyarakat Palestina dengan “Nakba”. Nakba dikenal sebagai mimpi buruknya masyarakat Palestina yang masih dikenang hingga saat ini. Selain Israel, Perserikatan Bangsa-Bangsa juga mempersulit masyarakat Palestina dengan putusan pembagian tanah dengan Israel.
Pasca 7 Oktober 2023, ketegangan di kawasan tersebut semakin memuncak dengan serangkaian kekerasan yang mengancam perdamaian dan stabilitas regional. Di tengah peristiwa ini, memahami akar-akar dan dinamika konflik menjadi semakin penting, tidak hanya untuk menemukan jalan keluar yang berkelanjutan, tetapi juga untuk mencegah terulangnya siklus kekerasan yang merugikan kedua belah pihak. Dengan menggunakan teori Post-Kolonialisme dan perspektif multikulturalisme, kita dapat memahami akar dan dinamika dari konflik Palestina dan Israel ini. Teori Post-Kolonialisme digunakan sebagai pemahaman agar kita bisa melihat peran imperialisme dan kolonialisme, dan pandangan multikulturalisme untuk memahami bagaimana kita menghargai keragaman budaya, agama, dan identitas dalam konflik tersebut.
Pemahaman Akar Konflik Melalui Sejarahnya
Sejarah awal konflik Palestina-Israel ini dimulai dari pengusiran massal penduduk palestina pada tahun 1948 yang dikenal sebagai Nakba. Ini merupakan titik yang paling awal dalam konflik Palestina-Israel dan berkembang menjadi konflik yang memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun yang sama membagi tanah Palestina ke Israel dan Palestina terus-terusan berjuang untuk mengakui hak tanah mereka menuju kemerdekaan.
Awalnya pada tahun 1917, Deklarasi Balfour yang dikeluarkan oleh pemerintah Inggris mendukung gagasan tanah air bagi bangsa Yahudi di Palestina, yang menyebabkan meningkatnya imigrasi Yahudi ke wilayah tersebut.
Setelah Perang Dunia II dan tragedi Holocaust, tekanan internasional meningkat untuk mendukung pembentukan negara Yahudi di Palestina. Hal ini akhirnya menghasilkan pembentukan negara Israel pada tahun 1948. Pembentukan Israel dan konflik yang muncul kemudian mengakibatkan pengusiran ratusan ribu penduduk Palestina, menciptakan konflik berkelanjutan antara Israel dan rakyat Palestina.
Konflik ini juga dipengaruhi oleh keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1947 untuk membagi wilayah mandat Inggris di Palestina menjadi dua negara, satu bagi orang Yahudi dan satu bagi orang Arab. Meskipun keputusan ini bertujuan untuk memberikan tempat bagi bangsa Yahudi setelah Holocaust, Palestina dan negara-negara Arab selalu menentangnya. Dengan memahami sejarah yang kompleks ini, kita dapat melihat bahwa akar konflik Palestina-Israel adalah hasil dari campuran faktor sejarah, politik, dan sosial yang kompleks. Pengakuan dan pemahaman mendalam terhadap sejarah ini penting untuk membantu kita merespons konflik ini dengan bijaksana dan efektif, dengan harapan dapat mencapai perdamaian yang berkelanjutan di wilayah tersebut.
Pandangan Edward Said Terhadap Pengaruh Kultural Dalam Konflik
Edward Said memandang dan mendalami konflik Palestina-Israel melalui lensa budaya dan imperialisme. Dalam karyanya, Edward Said melukiskan pengaruh mendalam representasi Barat tentang Timur Tengah terhadap politik dan persepsi global. Di tengah konflik Palestina-Israel, stereotip yang ditanam oleh orientalisme Barat terus membentuk pandangan dunia terhadap kedua belah pihak. Said menegaskan pentingnya memahami kerumitan budaya dan identitas dalam memahami konflik ini, menyoroti bahwa rakyat Palestina bukanlah sekadar "korban dari korban", melainkan pemain utama dalam panggung sejarah yang terkait erat dengan sejarah Yahudi di Eropa. Di samping itu, Said juga menjadi sosok sentral dalam memperjuangkan hak-hak Palestina di Amerika Serikat, mengekspos ketidakadilan dan menyerukan solidaritas internasional. Melalui kritik terhadap penindasan di mana saja, Said menegaskan pentingnya berdiri dalam solidaritas yang didasarkan pada kritik yang tajam dan pengadopsian sikap skeptisisme sebelum terlibat secara aktif.
Dengan karir intelektualnya yang memukau dan advokasi yang gigih untuk keadilan, Edward Said telah meninggalkan warisan yang abadi dalam perjuangan untuk pemahaman yang lebih dalam dan penyelesaian konflik yang adil. Meskipun telah meninggalkan dunia, pandangan kritis dan pandangan etisnya tetap menjadi pijakan bagi banyak orang dalam memahami dan menanggapi konflik yang rumit dan meresahkan, termasuk konflik berkepanjangan antara Palestina dan Israel. Sebagai seorang yang tak kenal lelah dalam mengupayakan solidaritas dan keadilan, Said terus memberikan inspirasi bagi mereka yang berjuang untuk perubahan yang positif di dunia.
Pandangan Teori Samuel Huntington
Huntington membuat sebuah karya yang berjudul “The Clash of Civilizations”, yang memandang bahwa ideologi dan ekonomi tidak lagi mendorong sebuah konflik global, melainkan didorong oleh perbedaan budaya, dan identitasnya. Pandangan ini menyoroti ketegangan yang muncul antara kelompok-kelompok budaya yang berbeda, khususnya dalam konteks globalisasi yang semakin mendunia. Dalam konteks konflik Gaza-Israel, perspektif Huntington menggarisbawahi potensi konflik yang dipicu oleh perbedaan identitas dan agama, terutama antara umat beragama Islam dan Yahudi.