Studi Ilmu Hubungan Internasional (HI) pada perkembangannya mengalami tantangan yang serius ketika memasuki fase yang sering disebut sebagai great debates. Great debates dalam HI merupakan perdebatan/diskursus yang terjadi di antara kalangan para ahli mengenai sejarah, perkembangan, dan relevansi HI sebagai sebuah teori. Pada intinya, great debates mempertanyakan pendekatan metodologis yang digunakan untuk menjelaskan negara sebagai objek dari kajian HI (Saraswati 2018). Perdebatan ini terjadi sepanjang tahun 1940-1960an dan terbagi menjadi 4 fase. Pada fase ke-2, perdebatan yang terjadi terbagi menjadi dua kubu di kalangan para ahli, yaitu kubu traditionalist dan behaviouralist (Saraswati 2018). Perdebatan antara kedua kubu tersebut menghasilkan pendekatan metodologis yang disebut sebagai positivisme dan digunakan oleh HI sampai saat ini. Kemunculan positivisme sebagai pendekatan metodologis tidak terlepas dari peran filsafat yang meletakkan dasar penting sebagai kerangka berpikir. Oleh karena itu, pada tulisan ini penulis akan membahas mengenai definisi, asumsi dasar, dan prinsip dari positivisme dalam HI serta peran filsafat ilmu terhadap lahirnya pendekatan positivisme dalam HI.
     Pertama, penulis akan membahas mengenai definisi dari positivisme dalam HI. Menurut Dugis dan Wardhani (2023), positivisme merupakan pendekatan metodologis yang memandang dunia dari sudut pandang metode ilmiah. Pendekatan ini dipopulerkan oleh kelompok pro-behaviouralist yang mencoba menggunakan metode ilmiah ke dalam HI, mirip seperti studi sains (Saraswati 2018). Pendekatan positivisme berfokus pada sistem observasi yang menghasilkan hipotesis dan diuji secara empiris sehingga menjadikan HI sebagai ilmu yang saintifik (Saraswati 2018).  Selain itu, metode verifikasi adalah kunci dalam pendekatan positivisme untuk menentukan kebenaran akan klaim pengetahuan (Dugis dan Wardhani 2023). Hal ini dikarenakan positivisme percaya bahwa pengetahuan ilmiah adalah satu-satunya pengetahuan autentik, menolak pendekatan agama dan metafisika (Dugis dan Wardhani 2023).Â
     Kedua, penulis akan membahas mengenai asumsi dasar dari positivisme dalam HI. Positivisme berasumsi bahwa pengetahuan hanya bisa datang dari penegasan positif melalui metode ilmiah yang ketat (Dugis dan Wardhani 2023). Positivisme menjadikan realitas sebagai objek dari penelitian ilmiah (Dugis dan Wardhani 2023). Positivisme berusaha mengkaji fakta tentang dunia secara objektif dan dipahami dengan menggunakan pendekatan ilmiah (Dugis dan Wardhani 2023).  Fakta-fakta tersebut direduksi dan dibuktikan menjadi sesuatu yang bersifat saintifik (Dugis dan Wardhani). Positivisme berasumsi bahwa dengan menggunakan metode ilmiah, studi HI dapat dikembangkan secara progresif dan meningkatkan kemajuan dalam pengembangan teori (Kaplan 1966). Asumsi positivisme tentunya bertentangan dengan traditionalist yang memandang ilmu HI harus dikembangkan dengan metode historis yang bersifat interpretatif (Saraswati 2018).
     Ketiga, penulis akan membahas mengenai prinsip dari positivisme dalam HI. Positivisme memiliki prinsip bahwa kebenaran didapatkan dari hasil pengamatan dan pengujian (Dugis dan Wardhani 2023). Hal ini dikarenakan menurut positivisme, disiplin ilmu hanya dapat berkembang sejauh pengalaman dan fakta yang diamati (Dugis dan Wardhana 2023). Dengan demikian, satu-satunya yang dapat dipastikan adalah hal-hal yang dapat diamati oleh manusia yang didasarkan pada pengalaman (Dugis dan Wardhani 2023). Pengalaman tersebut dikumpulkan menjadi data yang mengarah pada pembentukan dan pengujian hipotesis dari suatu teori yang akan dibangun (Saraswati 2018). Prinsip tersebut mendapat kritik dari Bull (1966) yang mengatakan bahwa pendekatan ilmiah dianggap menjauhkan diri dengan sejarah dan filsafat. Namun, pernyataan tersebut juga memiliki kekurangan karena kritik yang dilakukan tidak mampu memberikan alternatif sehingga positivisme tetap dipakai dan berjalan cukup berhasil sampai saat ini (Saraswati 2018).
     Keempat, penulis akan membahas peran filsafat ilmu terhadap lahirnya pendekatan positivisme dalam HI. Filsafat meletakkan dasar yang cukup penting dalam pendekatan positivisme. Hal ini dikarenakan positivisme dalam HI dapat dianalisis menggunakan salah satu pilar penting dalam filsafat ilmu, yaitu epistemologi. Penulis akan menggunakan pilar perspektif/obyek formal epistemologi untuk menjelaskan peran filsafat dalam pendekatan tersebut. Secara bahasa menurut Adib (2018), epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu. Secara definitif, epistemologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari tentang cara memperoleh, hakikat, dan sumber pengetahuan. Epistemologi dapat membantu memahami bagaimana suatu ilmu diperoleh, apa saja hakikat yang dimiliki, dan dari mana sumber pengetahuan tersebut didapatkan. Selain itu, menurut Adib (2018) epistemologi dapat dicari dengan menggunakan metode ilmiah, membantah kritik yang dikeluarkan oleh Bull (1966).
      Jika kita mengacu pada epistemologi, positivisme diperoleh dari adanya tradisi berpikir behaviouralist yang mencoba menggunakan metode ilmiah ke dalam HI sehingga menjadikan HI sebagai ilmu yang saintifik (Saraswati 2018). Adapun hakikat yang dimiliki oleh positivisme adalah mengedepankan metode ilmiah sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang didasarkan pada fakta dan pengalaman manusia (Dugis dan Wardhani 2023). Selain itu, positivisme menggunakan sumber pengetahuan yang berasal dari objek yang diamati untuk direduksi dan dibuktikan menjadi sesuatu yang bersifat saintifik (Dugis dan Wardhani 2023). Objek yang diamati dalam studi HI tentu saja negara yang terdiri atas manusia yang ada di dalamnya dan sering disebut sebagai ontologi dalam filsafat.  Penjelasan di atas telah memberikan bukti yang konkret bahwa pilar-pilar filsafat ilmu terbukti mampu menjelaskan dan ikut berkontribusi dalam lahirnya suatu teori/pendekatan.
     Terakhir, kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan ini adalah filsafat memiliki kontribusi penting terhadap lahirnya suatu ilmu pengetahuan, khususnya dalam studi HI. Meskipun pada penjelasan sebelumnya lebih spesifik membahas terkait positivisme, pilar filsafat epistemologi juga dapat diterapkan ke berbagai teori-teori baru dalam HI seperti critical theory, constructivism, feminism, dan lain-lain. Hal ini dikarenakan teori-teori baru dalam HI masih didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan mendasar terkait cara memperoleh, hakikat/asumsi utama, dan sumber pengetahuan tersebut didapatkan. Kolaborasi antara pendekatan positivisme yang menggunakan metodologi ilmiah dengan pilar-pilar filsafat terbukti masih digunakan oleh para ahli untuk menghasilkan teori baru sampai saat ini. Argumentasi ini tentu mendukung hipotesis bahwa filsafat ilmu masih relevan untuk memantapkan kesadaran literasi dan pemahaman akan suatu teori sekalipun di era digital seperti saat ini.
Referensi
Adib, 2018. Filsafat Ilmu : Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar xxviii + 268 hal.; 21 cm.
Bull, Hedley, 1966. International Theory: The Case for a Classical Approach, World Politics. London: Routledge.