Dalam pemilihan sifarah, Nabi tidak keluar dari kebiasaan yang berlaku pada diplomasi saat ini, seperti pergantian duta serta kemampuan yang tinggi. Mereka yang dipilih adalah yang cerdas, indah dalam bertutur kata, terampil dalam berbicara, serta dapat teguh memegang argumentasinya. Selain itu, mereka juga harus memiliki keilmuan yang tinggi, piawai dalam surat-menyurat serta administrasi di tengah masyarakat pada kala itu.
Adapun syarat yang lainya adalah kefasihanya dalam berbicara ataupun dalam bertutur kata. Hal inipun juga dilakukan oleh Rasulullah serta para khilafah muslim setelahnya. Ada suatu kisah dimana Rasulullah SAW pernah mengutus sahabatnya yaitu Hatib bin Abi Baltha'ah kepada imperium  raja Mauqaqis di Mesir. Setelah Hatib melakukan diplomasi dengan cara berdialog dengan para raja dan menyebarkan ajaran-ajaran Islam, Raja mauqauqispun merasa takjub dan kagum dengan kalimat-kalimat berwibawa yang di sampaikan Hatib.
Ketertarikan Raja Mauqaqis terhadap ajaran Islampun tampak dari tanggapanya yang memberi Apresiasi kepada Hatib, yaitu sahabat sekaligus orang yang dipaercaya menjadi utusan Rasulullah SAW, Raja Mauqaqis berkata kepada Hatib "Sungguh benar apa yang engkau katakan. Engkau adalah seseorang yang penuh hikmah dan berasal dari utusan yang juga penuh dengan hikmah".
Dari kisah pertemuan tersebut, Kita dapat mengambil hikmah bahwa kafasihan dan kebijakan dalam bertutur kata merupakan salah satu aspek penting dalam pengutusan diplomat. Hal inipun dapat membawa kesuksesan ataupun keberhasilan dalam berdiplomasi. Seperti salah satu kisah utusan Rasulullah SAW diatas.
Keyword :Â Sifarah, Rasulullah, Diplomasi Islam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI