Dulu, pada era orde baru, setiap tanggal 30 september, selalu ditayangkan film G30S yang diasumsikan sebagai gerakan dari organisasi yang sekarang elah dilarang yaitu Partai Komunis Indonesia. Pada waktu itu ada semacam pemaksaan dari penguasa untuk menjadikan film itu sebagai jejak sejarah yang dijejalkan pada masyarakat indonesia, tak terkecuali saya sendiri. Dulu waktu SD, diajak guru ramai ramai ke bioskop untuk menonton film tersebut. Dan setelah era reformasi bergulir, doktrin sejarah itupun banyak dipertanyakan oleh banyak kalangan. Apapun versi yang ada, kejadian pada 30 September 1965 telah menggoreskan sebuah sejarah, yaitu tindakan pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan tersebut dan hari tersebut, 01 Oktober diabadikan sebagai Kesaktian Pancasila.
Dulu semasa SD, saya sempat berpikir takjub, Pancasila katanya sakti. Pasti hebat sekali. Bisa melakukan apa saja. Tapi dalam berjalannya waktu, saya semakin berpikir. Kesaktian yang bagaimanakah Pancasila itu? Apakah kesaktian dalam bertahannya negera ini dari kudeta tahun 1965. Atau hal yang lain. Dalam konteks peristiwa tersebut, saya sebenarnya tidak sepakat jika itu dikatakan sebagai kesaktian Pancasila. Karena Pancasila itu ada bukan karena Pancasila itu secara “sebuah sosok”. Tetapi karena individu, masyarakat, rakyat Indonesia yang bersatu padu. Tetapi hal ini tentu bisa didebat. Bisa saja dikatakan sakti, dengan maksud pancasila itu adalah ruh, kepribadian yang telah menjadi nafas bagi rakyat Indonesia. Tanpa adanya ruh pancasila itu maka tidak mungkin kita bisa memberangus paham yang dipaksakan lewat kudeta 1965 tersebut. Tidak salah juga jika ada yang berpandangan begitu. Tetapi jika sudut pandang itu untuk melihat realita yang ada sekarang, berarti sekarang ini pancasila sudah tidak sakti lagi. Mengapa? Karena jelas, dalam kehidupan bernegara dan berbangsa ini, Pancasila ini sudah bisa dikatakan mati sejak era orde baru digulirkan. Dalam sisi demokrasi kita seolah bangkit dari kubur. Tetapi dari aspek jiwa pancasila, kita semakin meluruh. Kita menjadi bebas seolah tanpa batas. Termasuk bebas membuat undang undang yang seringkali mengelabuhi rakyat. Kita bebas bicara tanpa pedulikan etika. Dan masih banyak contoh realitas yang sebenarnya lepas dari kepribadian pancasila.
Kembali ke masalah Pancasila Sakti. Jika memang sakti, mestinya Pancasila sebagai sebuah kepribadian, tidak akan bisa tergadaikan atau tergantikan. Tapi yang ada sekarang ini, kita secara tidak sadar sudah menjadi pribadi manusia indonesia yang multiface. Kadang berwarna seperti barat, kadang seperti timur tengah, tidak jarang sepertipengikut klenik. Dan seringkali menjadi pribadi yang berantakan.Jadi menurut saya, istilah Pancasila sakti itu tidaklah tepat jika dikaitkan dengan peristiwa G30s dulu. Terlebih jika dari sisi agama, pengaitan pancasila dengan peritiwa keberhasilan penumpasan gerakan itu, sebagai subyek penentu, yaitu kita berhasil karena pancasila kita sakti. Itu termasuk hal yang melanggar akidah jika dalam bahasa islamnya. Jika di dalam agama lain tentu ada istilah yang sejenis. Keberhasilan yang ada, itu karena kuasa Allah dengan perantara orang orang yang konsisten dalam kebaikan, yaitu orang orang yang masih ingat dengan Tuhan, bukan karena simbol pancasila. Jadi masih tepatkah jika kita mengatakan dan merayakan adanya hari kesaktian pancasila? Dan bisakan pancasila disejajarkan dengan tokoh tokoh mak lampir, nini pelet atau yang lainnya, yang dikatakan sakti. Malah tokoh tokoh itu lebih sakti karena ada tambahan, mandraguna. Sakti mandraguna. Sakti sekali. Jika memang pancasila sebagai falsafah atau nilai nilai kebaikan. Jika digunakan kata sakti rasanya malah lebih mengecilkan dari falsafah itu sendiri.Semua terserah anda. Karena anda juga mempunyai sudut pandang tersendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H