Pasalnya, Indonesia hari ini harus senantiasa siaga terhadap ancaman kerawanan pangan pasca pandemi Covid-19, perubahan iklim, konflik global, dan kenaikan harga.
Ketergantungan masyarakat pada pangan tertentu, seperti beras di NTT, telah menyebabkan cadangan pangan lokal menurun hingga 50% dalam lima tahun terakhir, sementara hasil panen yang tak menentu semakin memperburuk kualitas hidup (Listyo, 2023). Alhasil, sebagaimana laporan tahunan KEHATI selama dua tahun berturut-turut pada 2021 dan 2022, untuk mewujudkan ketahanan pangan, perlu hadir diversifikasi pangan lokal. Kemenko Bidang Perekonomian dan Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI, Renata Puji Sumedi Hanggarawati, sama-sama menyetujui bahwa keberagaman pangan nusantara adalah kunci menghadapi tantangan kelaparan, gizi buruk, dan dampak perubahan iklim. Dalam konteks diversifikasi pangan lokal, dari sanalah kita perlu mengelaborasi kembali potensi pangan hasil laut Indonesia.
Namun, sektor perikanan Indonesia bukan tanpa hambatan. Perubahan iklim telah menyebabkan musim melaut yang tidak pasti, kenaikan biaya operasional, dan penurunan hasil tangkapan.
Sebagaimana yang sudah pernah dibahas sebelumnya oleh Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, di salah satu artikel opini KEHATI, eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya menjadi faktor utama penurunan produksi perikanan tangkap secara global menurut FAO. Dampaknya sangat signifikan, terlihat dari penurunan stok ikan yang berada pada tingkat keberlanjutan biologis (biologically sustainable levels), yaitu dari 90 persen pada tahun 1974 menjadi hanya 66,9 persen di tahun 2015. Pak Abdul Halim juga mengungkapkan bahwa pemerintah turut andil memperparah situasi, dengan regulasi seperti Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2023 yang justru membuka ruang bagi investasi asing dalam usaha penangkapan ikan, alih muatan hasil tangkapan ke pelabuhan asing, serta pelemahan penegakan hukum melalui penggantian sanksi pidana dengan sanksi administratif. Langkah-langkah ini bukan hanya berpotensi menguras sumber daya ikan secara berlebihan, tetapi juga mengulang kesalahan kebijakan masa lalu, seperti pembolehan alat tangkap yang merusak dan pengabaian data lapangan dalam pengelolaan perikanan. Akibatnya, stok ikan di beberapa wilayah perairan Indonesia terus menurun drastis, dengan beberapa spesies bahkan sulit ditemukan.
Kondisi ini nantinya akan bergaung seperti kasus perbudakan tenaga kerja di sektor perikanan yang mencuat pada 2015, di mana pekerja asing dieksploitasi dalam praktik penangkapan ikan ilegal (IUU Fishing). Kebijakan yang abai terhadap keberlanjutan dan perlindungan pekerja tidak hanya menodai sektor perikanan Indonesia tetapi juga melemahkan posisinya sebagai produsen perikanan terbesar kedua di dunia. Jika pengelolaan sumber daya laut tidak segera diperbaiki dengan pendekatan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, potensi besar perikanan Indonesia justru akan menjadi beban, alih-alih tumpuan bagi ketahanan pangan nasional.
Mengupas Potensi Laut Indonesia Semaksimal Mungkin
Selain peninjauan ulang masalah regulasi dan peningkatan kualitas pengelolaan hasil laut, Indonesia perlu mengoptimalkan potensi kelautannya yang jauh melampaui ikan sebagai komoditas utama.
Selama ini, hasil laut seringkali dipandang sebatas hewan bersirip, padahal laut menyimpan berbagai potensi pangan lain yang dapat menjadi solusi untuk diversifikasi pangan nasional.
Mangrove dan terumbu karang, misalnya, bukan hanya penting untuk ekosistem laut tetapi juga berpotensi mendukung budidaya sumber pangan yang berkelanjutan. Di luar itu, berbagai tanaman laut seperti rumput laut menawarkan peluang besar untuk diolah menjadi alternatif pangan inovatif. Salah satu terobosan yang patut dikembangkan adalah konsep beras dari laut, yang dihasilkan melalui dua pendekatan berbeda. Pertama, penggunaan varietas padi salin, yaitu jenis padi yang dapat tumbuh di lahan dengan tingkat salinitas tinggi akibat intrusi air laut. Hal ini relevan mengingat semakin banyaknya wilayah pesisir Indonesia yang terdampak kenaikan muka air laut dan menyusutnya lahan pertanian akibat perubahan penggunaan lahan. Kedua, pemanfaatan rumput laut sebagai bahan dasar beras analog. Rumput laut, terutama jenis Gracilaria sp., kaya akan serat, karbohidrat, mineral, dan yodium, sehingga dapat diolah menjadi alternatif pangan yang bergizi tinggi. Produksi beras dari rumput laut juga memberikan nilai tambah, seperti potensi pengurangan stunting dan penyediaan alternatif makanan bagi penderita diabetes.
Pengembangan beras dari laut tidak hanya memanfaatkan sumber daya yang melimpah tetapi juga menghadirkan peluang besar untuk diversifikasi pangan secara berkelanjutan. Indonesia, sebagai produsen rumput laut Gracilaria terbesar kedua di dunia, memiliki kapasitas untuk mengembangkan industri ini secara lebih luas. Rumput laut Gracilaria, yang biasanya digunakan untuk memproduksi agar-agar, dapat dibudidayakan secara monokultur maupun polikultur bersama udang dan bandeng, menjadikannya solusi inovatif bagi ketahanan pangan sekaligus keberlanjutan ekonomi pesisir. Dengan mendorong inovasi ini, Indonesia dapat mengubah tantangan kelautannya menjadi peluang, memperkuat diversifikasi pangan, dan mengurangi ketergantungan pada beras konvensional yang rentan terhadap perubahan iklim dan ketersediaan lahan.
Sebagai negara kepulauan dengan kekayaan laut yang melimpah, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan ketahanan pangan yang lebih beragam dan berkelanjutan.
Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan perubahan paradigma dalam melihat dan memanfaatkan sumber daya laut.