Mohon tunggu...
Shabrina Putri Mardhita
Shabrina Putri Mardhita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi Universitas Airlangga

Saya adalah mahasiswa psikologi tahun pertama dan calon psikolog. Antusiasme saya di bidang psikologi telah membawa saya ke Universitas Airlangga. Selain kecintaan saya pada dunia psikologi, saya memiliki hobi di bidang perfilman, terutama dalam bidang editing video. Saya sering mengikuti berbagai kompetisi video bersama tim produksi saya. Saat ini, saya sedang belajar berorganisasi, terutama yang bertujuan untuk membantu kesejahteraan dan berperan dalam masyarakat, sehingga saya dapat mengembangkan diri saya menjadi yang terbaik dan bermanfaat bagi orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Angka Pernikahan Menurun: Salahkah Menjadi Perempuan Independen?

17 Desember 2024   20:21 Diperbarui: 17 Desember 2024   20:21 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Grafik Angka Pernikahan di Indonesia (2018-2023) (Sumber: Badan Pusat Statistik)

Seiring berkembangnya zaman, perempuan muda saat ini mulai dapat menghidupi dirinya sendiri dengan berkarier atau disebut sebagai independen. Semakin banyaknya perempuan independen dapat menjadi salah satu penyebab dari turunnya angka pernikahan di Indonesia. Pasalnya, mereka memilih untuk menunda pernikahan karena ingin menyiapkan diri dengan matang, baik secara finansial maupun mental. Selain itu, kemapanan laki-laki menjadi faktor pemilihan pasangan mereka. Namun, saat ini laki-laki mapan semakin sedikit.

Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka pernikahan di Indonesia kian menurun selama 6 tahun terakhir. Wihaji, Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (KPK), menduga bahwa penyebab utama fenomena ini adalah faktor ekonomi. Para generasi muda merasa khawatir dengan kondisi ekonomi yang saat ini sedang tidak stabil sehingga mereka memilih untuk fokus pada karier terlebih dahulu. Kekhawatiran ini merupakan langkah antisipasi terjadinya perceraian karena tentunya dengan kesiapan yang matang akan meminimalisir terjadinya perpisahan.

Bagong Suyanto, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga, menilai bahwa meningkatnya perempuan independen menjadi salah satu faktor menurunnya angka pernikahan karena semakin terbukanya peluang perempuan untuk mengembangkan potensi dirinya. Pernyataan ini didukung oleh data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan bahwa persentase perempuan yang bekerja sebagai tenaga profesional di setiap tahunnya kian meningkat dan hampir mengimbangi proporsi laki-laki. Peningkatan persentase tenaga profesional perempuan ini menunjukkan bahwa semakin banyak pula perempuan yang telah mampu menghidupi dirinya dengan berkarier sehingga dapat disebut independen atau mapan.

Grafik Persentase Perempuan sebagai Tenaga Profesional di Indonesia (2018-2023) (Sumber: Badan Pusat Statistik)
Grafik Persentase Perempuan sebagai Tenaga Profesional di Indonesia (2018-2023) (Sumber: Badan Pusat Statistik)

Prilly Latuconsina juga berpendapat bahwa penurunan angka pernikahan terjadi karena banyaknya wanita yang semakin independen sedangkan laki-laki yang mapan jumlahnya tidak seberapa. Pernyataan tersebut menjadi ramai diperbincangkan serta menuai pro dan kontra di berbagai media sosial. Sebagian netizen tidak setuju dengan pendapatnya karena adanya kesenjangan pada standar kesuksesan perempuan dan laki-laki.

Tolok ukur kesuksesan perempuan menjadi independen atau mapan yaitu ketika mereka dapat memenuhi kebutuhan tanpa bantuan orang lain. Sementara tolok ukur laki-laki untuk menjadi mapan tidak hanya sekadar dapat mencukupi kebutuhan mereka sendiri, tetapi juga disertai dengan kepemilikan aset, seperti rumah dan kendaraan pribadi, sehingga telah memiliki keadaan finansial yang stabil. Perbedaan standar ini menimbulkan ketidaksetujuan karena kesannya perempuan lebih mudah dinilai independen atau mapan dibandingkan laki-laki.

Jika kita telisik kembali, perempuan sejak dahulu telah mengalami diskriminasi secara sistematis dalam pemahaman tradisional, seperti patriarki, yang sudah tidak relevan. Hal ini juga dijelaskan oleh Zahid Ibrahim, influencer yang berfokus pada pengembangan diri. Ia mengatakan bahwa perempuan secara historis mengalami ketidakadilan, terutama di Asia Tenggara, sehingga perempuan harus menempuh jalan yang lebih terjal dibandingkan laki-laki. Dengan rekam jejak tersebut, kita dapat memahami bahwa perempuan dan laki-laki memulai perjuangannya di tingkat yang berbeda sehingga ketika perempuan dapat meraih sepersekian kesuksesan laki-laki sudah dapat disebut independen.

Dari fenomena ini, kita dapat memandang penurunan angka pernikahan menjadi hal yang tidak selalu buruk. Penurunan ini dapat menandakan bahwa generasi muda memahami bahwa sebelum menikah perlu persiapan yang matang, baik secara finansial maupun mental, serta belajar dari generasi sebelumnya. Pilihan perempuan untuk berkarier dan menjadi independen bukanlah hal yang salah, justru merupakan hal yang positif karena mereka tidak perlu menunggu dan bergantung pada laki-laki. Fenomena ini menunjukkan adanya peningkatan peluang berkarier perempuan dan kesadaran pada generasi muda mengenai pentingnya persiapan sebelum menikah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun