Mohon tunggu...
Shabrina Nur Ramadhani
Shabrina Nur Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Pendidikan IPS

traveling, menonton film, membaca novel

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dilema Pedagang Kecil di Tengah Kenaikan PPN: Suara Ibu Yani dan Harapan untuk Pemerintah

14 Desember 2024   21:55 Diperbarui: 14 Desember 2024   21:55 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak tidak langsung yang dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang dan jasa. PPN dibebankan kepada konsumen akhir, tetapi kewajiban untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak ini berada pada Pengusaha Kena Pajak (PKP), yaitu pengusaha atau badan usaha yang telah terdaftar dan diberi izin untuk memungut PPN. PPN dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi, sehingga setiap tahapan dalam proses penjualan dapat dikenakan pajak berdasarkan nilai tambah yang dihasilkan. PPN menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang penting dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Keputusan ini merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang sebelumnya menaikkan tarif PPN dari 10 % menjadi 11% pada April 2022. Namun, ada kontroversi mengenai standar kenaikan ini, di mana banyak pihak meminta agar kenaikan PPN hanya berlaku untuk barang mewah dan tidak untuk kebutuhan pokok dan layanan publik. Dalam pertemuan antara Pimpinan DPR dan Presiden Prabowo Subianto pada 5 Desember 2024, disepakati bahwa PPN 12% akan dikenakan secara frekuensi hanya pada barang-barang mewah, seperti mobil, apartemen, dan rumah mewah. Kebutuhan pokok dan layanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan, akan tetap dikenakan PPN sebesar 11%.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan pemerintah tidak akan mengenakan PPN untuk komoditas penting yang menyentuh langsung masyarakat. Kenaikan tarif ini memicu reaksi negatif dari masyarakat dan ekonom, yang khawatir akan berdampak terhadap daya beli masyarakat yang sudah tertekan. Beberapa anggota DPR juga mengusulkan agar pemerintah melakukan kajian lebih mendalam mengenai dampak kebijakan ini sebelum diterapkan. Pemerintah berencana memberikan sosialisasi terkait perubahan ini agar masyarakat memahami penerapan kenaikan PPN.

Dari hasil wawancara yang kami lakukan terhadap salah satu narasumber yang merupakan pelaku UMKM yakni ibu yang bernama Yani, beliau memberikan pendapat nya mengenai kenaikan PPN. bu yani merasa bahwa kenaikan PPN tersebut akan cukup berpengaruh pastinya namun ia tidak menjelaskan secara panjang lagi dikarenakan dirinya yang kurang paham mengenai hal tersebut. lalu, ia menuturkan kenaikan PPN pastinya akan memberikan dampak yang kurang menguntungkan baginya, dampaknya terbukti dari beliau yang mengurangi porsi barang dagangannya karena jika ia menaikan harga dikarenakan PPN naik bu Yani menghawatirkan kurangnya peminat untuk membeli dagangannya. ia menganggap rencana kenaikan PPN ini cukup memberatkan baginya yang seorang pedagang, ia menyarankan adanya peninjauan ulang dan menyarankan juga adanya subsidi terhadap barang seperti sembako.



Ibu Yani, seorang pedagang warung kecil, memberikan gambaran yang jelas tentang dampak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun depan terhadap pelaku usaha kecil. Sebagai seorang pedagang yang sehari-hari mengandalkan pendapatan dari hasil penjualan kebutuhan pokok seperti sembako, makanan ringan, dan barang-barang kebutuhan rumah tangga lainnya, Ibu Yani merasa bahwa kebijakan ini memiliki potensi untuk menambah beban ekonomi yang sudah berat, baik bagi dirinya sebagai pelaku usaha maupun bagi konsumen yang sebagian besar adalah masyarakat menengah ke bawah.

Ibu Yani mengungkapkan bahwa kenaikan PPN ini akan berdampak langsung pada harga jual barang-barang di warungnya. Dengan adanya tambahan pajak, harga-harga barang yang dijual akan mengalami kenaikan. Meskipun kenaikan ini tampaknya kecil secara nominal, namun dalam jangka panjang, hal tersebut dapat memengaruhi daya beli konsumen. Menurut Ibu Yani, pelanggan utamanya adalah tetangga sekitar yang cenderung sensitif terhadap perubahan harga, terutama dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu. Kenaikan harga ini bisa membuat konsumen mengurangi jumlah pembelian atau bahkan beralih ke tempat lain yang dianggap lebih murah, misalnya ke pasar tradisional atau pedagang grosir yang mungkin menawarkan harga lebih kompetitif. Akibatnya, omzet warung Ibu Yani berpotensi menurun.

Selain itu, Ibu Yani juga merasa bingung dan khawatir dalam menentukan strategi penyesuaian harga. Jika ia menaikkan harga jual barang untuk mengimbangi kenaikan PPN, ia takut akan kehilangan pelanggan. Namun, jika ia tidak menaikkan harga, keuntungan yang diperoleh akan semakin kecil, bahkan mungkin tidak cukup untuk menutupi biaya operasional dan kebutuhan pribadi. Dilema ini mencerminkan tantangan besar yang dihadapi oleh banyak pelaku usaha kecil lainnya di tengah kebijakan perpajakan yang lebih ketat.

Lebih jauh, Ibu Yani menilai bahwa kebijakan kenaikan PPN ini bisa memberatkan masyarakat secara umum, terutama golongan masyarakat ekonomi lemah yang menjadi pelanggan utamanya. Barang-barang kebutuhan pokok yang seharusnya terjangkau akan menjadi semakin mahal, sehingga membebani anggaran rumah tangga mereka. Untuk meringankan dampak ini, Ibu Yani berharap pemerintah dapat memberikan solusi yang nyata, seperti subsidi bagi pelaku usaha kecil atau penghapusan PPN untuk barang-barang sembako. Dengan adanya subsidi atau insentif ini, ia merasa bahwa beban para pedagang kecil seperti dirinya dapat lebih ringan, sehingga mereka tetap mampu bertahan di tengah kondisi ekonomi yang semakin sulit.

Secara keseluruhan, pengalaman dan pandangan Ibu Yani mencerminkan kekhawatiran yang lebih luas di kalangan pelaku usaha kecil terkait kenaikan PPN. Kebijakan ini, meskipun bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, berpotensi memberikan efek domino yang merugikan masyarakat kelas menengah ke bawah jika tidak diimbangi dengan kebijakan perlindungan sosial yang memadai. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan dampak dari kebijakan ini secara holistik agar tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi makro, tetapi juga memastikan keberlanjutan usaha mikro dan kecil yang menjadi bagian penting dari perekonomian rakyat.

Ibu Yani, sebagai salah satu pelaku usaha kecil yang terkena dampak langsung dari kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, memiliki beberapa harapan untuk pemerintah agar kebijakan ini tidak semakin membebani masyarakat kecil dan usaha mikro. Ia berharap pemerintah dapat mengambil langkah konkret untuk melindungi kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap kenaikan harga barang akibat kebijakan ini.

Pertama, Ibu Yani berharap agar pemerintah mempertimbangkan kebijakan subsidi, khususnya untuk barang-barang kebutuhan pokok seperti sembako, gula, minyak goreng, dan bahan pangan lainnya. Dengan adanya subsidi, harga barang-barang pokok dapat tetap terjangkau sehingga tidak membebani masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah yang menjadi pelanggan utama warung kecil seperti miliknya.

Kedua, ia juga menyarankan adanya program insentif atau keringanan pajak bagi pelaku usaha kecil. Misalnya, pemerintah dapat memberikan keringanan berupa pengurangan pajak usaha mikro atau dukungan berupa modal kerja dan bantuan langsung kepada pedagang kecil. Langkah ini tidak hanya akan meringankan beban para pedagang kecil, tetapi juga membantu mereka untuk tetap bersaing di pasar yang semakin ketat.

Ketiga, Ibu Yani berharap pemerintah lebih transparan dalam menjelaskan tujuan dan manfaat kenaikan PPN ini kepada masyarakat. Ia merasa bahwa pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana pajak ini akan digunakan, misalnya untuk membiayai program pembangunan atau jaminan sosial, dapat membantu masyarakat menerima kebijakan ini dengan lebih baik. Namun, ia menegaskan bahwa hal tersebut perlu dibarengi dengan upaya nyata untuk meringankan dampaknya bagi kelompok rentan.

Keempat, pemerintah juga diharapkan melakukan pengawasan ketat terhadap distribusi barang kebutuhan pokok, agar tidak ada praktik spekulasi harga yang memperburuk situasi. Kenaikan PPN seharusnya tidak menjadi alasan bagi distributor besar atau pedagang grosir untuk menaikkan harga secara berlebihan, yang pada akhirnya akan menekan pedagang kecil dan konsumen akhir.

Secara keseluruhan, Ibu Yani berharap agar kebijakan pemerintah, termasuk kenaikan PPN, dapat dirancang dengan memperhatikan kondisi masyarakat kecil yang menjadi tulang punggung perekonomian rakyat. Ia menekankan pentingnya kebijakan yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi secara makro, tetapi juga mampu menjamin keberlangsungan usaha kecil dan melindungi daya beli masyarakat. Dengan begitu, dampak negatif dari kebijakan ini dapat diminimalkan, dan usaha kecil seperti warungnya dapat tetap bertahan dan berkembang di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun