Dalam tradisi tasawuf, mahabah atau cinta kepada Allah menempati posisi sentral dalam perjalanan spiritual seorang hamba. Konsep ini menggambarkan hubungan emosional, spiritual, dan intelektual antara manusia dengan Sang Pencipta. Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, seorang sufi terkemuka, menguraikan esensi mahabah dalam kitabnya yang berjudul Futuh al-Ghaib. Kitab ini berisi kumpulan khotbah yang penuh hikmah, memberikan panduan kepada para pencari kebenaran tentang bagaimana cinta kepada Allah dapat menjadi inti kehidupan mereka.
Menurut Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, mahabah adalah cinta yang murni kepada Allah, tanpa disertai kepentingan duniawi. Cinta ini bukan sekadar perasaan emosional, tetapi juga komitmen untuk taat dan mendekatkan diri kepada-Nya. Dalam Futuh al-Ghaib, beliau menekankan bahwa mahabah sejati muncul dari pengenalan mendalam terhadap Allah (ma'rifah). Ketika seseorang mengenal Allah melalui sifat-sifat-Nya, maka cinta akan tumbuh dengan sendirinya.
Syeikh Abdul Qadir al-Jailani menguraikan beberapa tanda seseorang yang memiliki mahabah sejati kepada Allah:
1. Ketaatan yang Konsisten: Orang yang mencintai Allah akan menjalankan perintah-Nya dengan penuh kerelaan dan menghindari larangan-Nya tanpa paksaan.
2. Kerinduan kepada Allah: Seorang pecinta sejati selalu merindukan momen-momen kedekatan dengan Allah, baik melalui ibadah maupun dzikir.
3. Kesabaran dalam Ujian: Mereka menerima ujian dengan ikhlas, karena percaya bahwa segalanya datang dari Allah sebagai bagian dari cinta-Nya kepada hamba-Nya.
4. Ketulusan: Segala amal perbuatan dilakukan hanya untuk mencari ridha Allah, bukan untuk popularitas atau penghargaan duniawi.
Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dalam Futuh al-Ghaib menjelaskan bahwa untuk mencapai mahabah, seseorang harus melewati berbagai tahap spiritual:
* Tazkiyah al-Nafs: Penyucian jiwa dari sifat-sifat buruk seperti kesombongan, iri hati, dan cinta dunia yang berlebihan.
* Muqarrabah: Mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah yang konsisten, seperti shalat, puasa, dan dzikir.
* Fana' fi Allah: Melepaskan ego dan merasakan kebersatuan dengan Allah dalam setiap aspek kehidupan.
Dalam Futuh al-Ghaib, Syeikh Abdul Qadir al-Jailani menggambarkan bahwa mahabah adalah puncak dari perjalanan spiritual seorang sufi. Cinta ini mengubah cara seseorang melihat dunia: semua yang ada di alam semesta dipahami sebagai manifestasi dari kasih sayang Allah. Dengan cinta ini, seorang hamba tidak hanya mengabdi kepada Allah, tetapi juga menjadi rahmat bagi makhluk-Nya.
Di tengah kehidupan modern yang sering kali penuh dengan kegelisahan, konsep mahabah menjadi pengingat bahwa kedamaian sejati hanya dapat ditemukan dalam hubungan yang mendalam dengan Allah. Dengan menjadikan cinta kepada Allah sebagai prioritas, seseorang akan menemukan kebahagiaan yang tidak tergantung pada kondisi eksternal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H