Mandailing, Adalah salah satu suku yang bermukim di kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera utara. Menurut H.Pandapotan Nasution, SH. Wilayah Mandailing berada di sepanjang jalan raya lintas Sumatera di daerah Tapanuli Selatan ± 40 KM dari Padang Sidempuan ke Selatan, dan ± 150 KM dari Bukit Tinggi ke Utara yang berbatasan langsung di sebelah Utara dengan daerah Angkola, sebelah Barat dengan daerah Pesisir, sebelah Selatan dengan daerah Minangkabau, dan sebelah Timur dengan daerah Padang Lawas. Sebahagian wilayah Mandailing yang di sebut dengan Mandailing Godang di gambarkan dalam sajak "MANDAILING" karya Willem Iskander.
H.Pandapotan Nasution Dalam Uraian Singkat Adat Mandailing dan Tata Cara Pernikahannya (Jakarta, Widya Press, 1993:11). Suku Mandailing yang selanjutnya dapat di sebut dengan orang Mandailing adalah orang yang secara turun temurun berasal dari daerah Mandailing, baik yang masih menetap di wilayah Mandailing atau di daerah manapun. Masyarakat Mandailing ini terbagi atas marga-marga yang menunjukkan identitas keturunannya melalui garis keturunan yang di turunkan oleh ayah (patrilineal).
Struktur dan sistem hukum adat Mandailing bertumpu pada sistem Dalihan Na Tolu dalam masyarakat Mandailing. Dalihan Na Tolu memiliki arti "Tiga Tungku" dimana tungku memiliki arti landasan untuk meletakkan periuk di atas perapian pada saat memasak, tungku ini harus disusun dengan seimbang sehingga periuk dapat bertumpu dengan baik di atas perapian.
Struktur Dalihan Na Tolu terdiri dari tiga kelompok yakni Mora, Kahanggi, dan Anak Boru.Ketiga kelompok ini memiliki kedudukan dan fungsi tertentu dalam Masyarakat hukum adat Mandailing. Seseorang dapat dikelompokkan sebagai Mora, Suhut dan Kahanggi, serta Anak boru tergantung pada situasi, kondisi, dan tempat Dimana dia berada. Artinya dalam masyarakat hukum adat Mandailing seseorang dapat memiliki tiga dimensi hidup yang berbeda sesuai dengan tempat tinggalnya di masyarakat, bisa saja menjadi Mora, atau Suhut dan Kahanggi, begitu juga Anak Boru.
Mora adalah kelompok yang memberikan anak gadisnya kepada pihak Suhut. Sedangkan Suhut Atau Kahanggi adalah suatu kelompok yang memiliki garis keturunan yang sama (semarga) yang dimana satu sama lain di dalam satu huta merupakan Bona Bulu (Pendiri Kampung), Suhut juga dapat di artikan sebagai tuan rumah dalam suatu acara adat. Begitu juga Anak Boru adalah kelompok yang mengambil anak Perempuan dari Suhutnya. Seseorang dapat berubah posisinya tergantung bagaimana situasi yang di hadapkan.
Dari tiga kelompok diatas, satu sama lain memiliki kedudukan dalam melaksanakan tugasnya dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Suhut beserta Khanggi nya sebagai pelaksana acara adat (na pajong jong adat) bertugas bertanggung jawab dalam pelaksanaan tugasnya, begitu juga Anak Boru, Anak Boru harus ikut ambil andil dalam bekerjasama dengan Suhut dan Kahanggi dalam mensukseskan atau melancarkan berjalannya upacara adat. Hubungan Suhut beserta Kahanggi dengan Anak Boru memiliki perbedaan dengan hubungan Suhut beserta Kahanggi dengan Mora.
Secara fungsional Mora berkedudukan sebagai Pangidoan tua dohot haratan, Mora merupakan pihak yang harus di hormati, Mora disebut juga sebagai Mata Ni Ari Naso Gakgahon atau matahari yang tidak bisa di tentang. Suhut harus somba mar Mora karena dianggap sebagai sumber keberkahan, tuah, dan pasu pasu. Sikap Suhhut harus berbeda-beda terhadap Kahanggi, Anak Boru, dan Mora agar tujuan dalihan natolu se iya sekata "Songon Siala Sampagul, Rap Tu Ginjang Rap Tu Toru, Muda Malamun Saulak Lalu" dapat dicapai bersama-sama.
Domu Ni Tahi dalam musyawarah Dalihan Na Tolu sangat penting, Karena setiap mendirikan horja (kerja) yang berhubungan dengan urusan atau hal adat, diperlukan satu kata sepakat dan disinilah fungsi Dalihan Na Tolu  diperlukan. Kesepakatan inilah yang di sebut dengan Domu Ni Tahi. Ciri-ciri demokrasi pada Masyarakat Mandaling telah terlihat disini, Dimana setiap kelompok dan anggota keluarga memiliki hak bicara yang sama tanpa terkecuali.
Dewasa ini, Konsep Domu Ni Tahi dan Dalihan Na Tolu sudah mulai jarang di temukan pada masyarakat di wilayah perkotaan, terutama pada masyarakat Mandailing yang sudah tidak lagi bertempat tinggal di wilayah Mandailing. Kendati demikian, masyarakat Mandailing yang masih menetap di wilayah Mandailing masih sering menggunakan konsep ini, karena ulayat (wilayah) Mandailing lebih di di dominasi oleh pedesaan dan masih memegang teguh konsep adat istiadat dan budaya Mandailing.
Beni Ahmad Saebani dalam Ilmu Sosial Dasar (Bandung,PUSTAKA SETIA, 2023:125) ciri masyarakat pedesaan adalah sederhana, tradisional, dan selalu bergotong royong dalam melaksanakan fungsi sosialnya. Begitu pula lah konsep Dalihan Na Tolu dan Domu Ni Tahi dalam masyarakat Mandailing yang berkerja sama, bergotong royong, serta bermusyawarah untuk mencapai suatu tujuan sesuai dengan fungsi sosialnya masing-masing.