Pasca putusan MK Istilah Rekonsiliasi dan Oposisi kini menjadi topik yang hangat untuk didiskusikan, tampaknya makna dari dua kata tersebut telah direduksi oleh publik dan para elit politik. Makna rekonsiliasi menjadi sempit dan oposisi menjadi peran yang disudutkan karena dipandang barisan gagal move on, kecewa, dan seterusnya.
Pertama, Kapasitas oposisi kini ditentukan oleh positioning partai politik dipemerintah, tidak dipahami fungsinya sebagai lembaga legislatif yang melakukan pengawasan dan kritik terhadap pemerintah. Sehingga partai-partai politik yang memposisikan dirinya dikoalisi partai pemenang, enggan melakukan kritik kepada pemerintah oleh partai politik yang memiliki perwakilannya di parlemen. Padahal, politisi yang langgeng ke perlamen merupakan dewan perwakilan rakyat yang artinya sebagai mulut, saluran, dan tangannya rakyak untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah bukan dewan perwakilan partai untuk memenuhi kepentingan segelintir atau kelompok tertentu.
Kedua, mengenai rekonsiliasi. Secara umum sebebenarnya rekonsiliasi adalah perbaikan hubungan antara pihak-pihak yang bertikai. Dalam konteks ini Prabowo dan Jokowi merupakan pemeran utama diatas panggung pertandinga politik yaitu pemilu. Dalam perjalanannya, selama pertandingan berlangsung tentu ada yang terluka, maka luka ini perlu diobati dengan istilah rekonsiliasi. Ajakan dan anjuran untuk rekonsiliasi menjadi pro dan kontra setelah Pilpres 2019 selesai, khususnya setelah Mahkamah Konstitusi menolak gugatan pasangan Prabowo-Sandi, dan itu bermakna bahwa keputusan KPU atas kemenangan Jokowi-Maruf sah. Pertanyaanya adalah kenapa harus rekonsiliasi?
Pertama, tujuan untuk dilakukannya rekonsiliasi adalah menciptakan stabilitas politik. Kedua, Rekonsiliasi upaya untuk mencairkan suasana konflik yang terjadi pada tubuh social yang kini terpolarisasi dan menjadi sensitif. Dalam kontestasi politik di Indonesia selalu berujung dengan rekonsiliasi, sesuai budaya politik di Indonesia tidak mungkin antarparpol bermusuhan.
Sebagian publik mempunyai persepsi sendiri dalam memahami makna rekonsiliasi, makna yang dimaksud adalah bagi-bagi kursi. Pertanyaannya adalah apakah persepsi tersebut membenarkan fakta dilapangan yang sebenarnya, dimana rekonsiliasi hanya sebagai metafor yang terdengar lebih santun ditengah masyarakat. Apabila rekonsiliasi via bagi-bagi kekuasaan dianggap membuat pemerintahan akan semakin gemuk atau sebaliknya, oposisi akan semakin kurus jika hal itu terjadi. Sehingga kontrol terhadap eksekutif akan lemah, maka pada kesimpulannya Indonesia sedang dilanda sistem politik yang lemah dan berkembangnya budaya politik yang buruk.
Seharusnya terjadi atau tidaknya proses rekonsiliasi, maka fungsi pengawasan atau oposisi itu tetaplah ada, karena merupakan bagian dari fungsi lembaga legislatif untuk melakukan kritik dan pengawasan terhadap berjalannya kepemerintahan sebagaimana yang diamanahkan undang-undang, terlepas dari manapun asal partainya. Oposisi itu jelas bukan sekedar memposisikan berbeda dengan pemerintah atau mencari cari kesalahan dan menyalahkan pemeritah semata, namun menawarkan alternatif  kebijakan yang lebih baik. Padahal Indonesia menganut sistem pemerintahan presidential. Namun, pada faktanya menjadi rancu karena  mencoba mengadopsi istilah oposisi pada sistem pemerintahan parlementer sehingga seolah olah partai  yang kalah dalam pemilu menempatkan dirinya sebagai pihak oposisi.
Shabirin Arga
Pengamat Sosial dan Politik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H